Bagi kebanyakan orang Barat, gambaran tentang laki-laki dan perempuan berdesakan di gerbong menjadi metafora bagi India modern.
Ritika Prasad, University of North Carolina - Charlotte
Tragedi tabrakan kereta api yang menewaskan hampir 300 orang beberapa pekan lalu kembali menarik fokus internasional terhadap pentingnya perkeretaapian bagi keseharian masyarakat India.
Memang, bagi kebanyakan orang Barat, gambaran tentang laki-laki dan perempuan berdesakan di gerbong menjadi metafora bagi India modern.
Ambil contoh pemberitaan media Jerman, Der Spiegel, tentang jumlah penduduk India yang kini telah melampaui Cina. Dipublikasikan hanya beberapa pekan sebelum kecelakaan di Provinsi Odisha tersebut terjadi, kartunnya yang kini banyak dikritik tersebut menggambarkan sebuah kereta usang India penuh dengan penumpang yang saling berdesakan, melaju melewati kereta lokomotif Cina yang hanya berisi dua orang di dalamnya.
Dari mana gambaran Barat tentang perkeretapian India - dan tentang India itu sendiri - yang bertahan begitu lama berasal?
Sebagai ilmuwan yang berkutat dengan sejarah India sekaligus penulis buku Tracks of Change: Railways and Everyday Life in Colonial India yang terbit pada 2015, saya percaya jawabannya dapat ditemukan di proyek-proyek infrastruktur besar-besaran pada abad ke-19 - dibangun pada era persimpangan antara pemerintah kolonial dan permintaan para kapitalis.
Kendaraan untuk barang, bukan orang
Kereta api adalah tulang punggung pergerakan penumpang di India dan telah menjadi andalan bagi 23 juta orang tiap harinya. Selama tahun keuangan 2018-2019, pada masa pra-pandemi, 7,7 miliar penumpang bepergian menggunakan kereta di India. Sebagai perbandingan, penumpang angkutan udara hanya 123,2 juta pada 2022, bahkan setelah kenaikan drastis pascapandemi.
Namun demikian, pada saat pertama dirancang pada 1840-an, kereta api di India ditujukan untuk mengangkut barang dan ternak, bukan penumpang.
Dalam pandangan jajaran direksi Perusahaan Hindia Timur Britania, perusahaan monopoli dagang yang pelan-pelan menganeksasi dan memasukkan sebagian besar kehidupan India ke bawah kontrol Kerajaan Inggris, kecil kemungkinan masyarakat India menjadi penumpang kereta api.
Saat itu, banyak orang tak sepakat dengan pandangan bahwa orang-orang India tak bepergian, apalagi mengingat negara tersebut memiliki sejarah perdagangan global dengan jaringan perairan yang luas.
Namun, kebijakan awal perkeretaapian kolonial didorong oleh gambaran Orientalis yang begitu luas tentang orang-orang yang tak bisa ke mana-mana karena miskin, hidup di desa-desa yang terisolasi, dan terikat oleh aturan-aturan keagamaan yang melarang bepergian.
Pandangan klise ini saling terkait dengan pemikiran kolonial bahwa perkeretaapian akan mendorong industrialisasi yang lebih besar yang pada gilirannya akan memajukan ekonomi kapitalis.
Hal tersebut juga sejalan dengan kebutuhan praktis perusahaan dagang monopoli yang membutuhkan bahan mentah untuk industri di Inggris, seperti kapas, untuk dapat dipindahkan dengan cepat dan efisien dari bagian dalam India ke kota-kota pelabuhan agar bisa dikapalkan.
Kursi murah bagi pribumi
Untuk menarik "pribumi" (sebutan orang-orang Inggris untuk masyarakat jajahannya) agar menggunakan kereta api, pemerintah kolonial menetapkan tarif rendah, terutama di gerbong-gerbong kelas tiga - kategori terendah dan termurah dalam perjalanan kereta api.
Keputusan untuk mengenalkan tarif rendah tampaknya ganjil jika disandingkan dengan usaha kapitalis yang berpusat pada profit, dengan modal yang dikumpulkan oleh perusahaan-perusahaan swasta yang tergabung di Britania Raya.
Walaupun begitu, para kapitalis dan pemegang saham Inggris tak mengkhawatirkan profit mereka, yang ditanggung oleh pembayar pajak India. Pemerintah kolonial India menjamin perusahaan-perusahaan ini mendapatkan pengembalian tahunan 5% atas investasi mereka, terlepas dari apakah usaha itu menghasilkan keuntungan atau tidak.
Walaupun sempat ada keraguan, perkeretaapian India berhasil menarik penumpang dan terus bertambah.
Pada tahun 1854 ketika kereta api mulai dioperasikan, jumlah penumpangnya sebanyak setengah juta orang, lalu tahun 1875 melonjak menjadi 26 juta. Pada tahun 1900, jumlah penumpang tahunan berada di kisaran 175 juta kemudian naik hampir 3 kali lipat menjadi 520 juta pada 1919-20.
Ketika partisi India terjadi pada 1947, jumlah perjalanan sudah mencapai 1 miliar penumpang per tahunnya. Memang, gambaran kereta yang penuh sesak menjadi contoh yang sempurna untuk mengilustrasikan pergolakan partisi, dengan sistem perkeretapian digunakan untuk membawa orang-orang yang terusir melewati wilayah yang tak lama kemudian menjadi perbatasan Pakistan dan India.
Penumpang kelas tiga, didominasi oleh orang-orang India, menyumbangkan 90% dari arus penumpang ini. Namun, lonjakan penumpang ini tak membuat tarif turun. Juga tak menghasilkan perbaikan substansial terhadap perjalanan di gerbong kelas tiga yang kelebihan penumpang dan kondisinya kotor dan tak sehat.
Alih-alih, perusahaan-perusahaan kereta api mencari "penghematan ruang dan muatan", seperti yang dikatakan salah seorang manajer. Kereta api yang tidak memadai, kebanyakan diimpor, memperburuk masalah.
Alat 'ketenangan diri'
Para manajer kereta api, kebanyakan orang Inggris, tampaknya tak tertarik untuk memperbaiki kepadatan penumpang yang merupakan masalah sistematis, termasuk membawa penumpang di gerbong yang diperuntukkan bagi hewan ternak. Mereka malah bersikeras bahwa kepadatan penumpang ini disebabkan oleh kebiasaan aneh dan kecenderungan orang India: benci terhadap gerbong kosong dan cenderung mengikuti satu sama lain "seperti domba" ke dalam gerbong yang penuh sesak
Atribut ini tak lama menjadi narasi publik, terutama bagi mereka yang punya pola pikir Barat. Pada tahun 1929, H. Sutherland Stark, jurnalis majalah berbasis industri, Indian State Railways Magazine, menulis bahwa meskipun "belum berpengalaman" dalam administrasi perkeretaapian dan kontrol lalu lintas, dia tahu bahwa fasilitas perkeretaapian bukanlah masalahnya. Sebaliknya, penumpang India tidak memiliki kesiapan mental, "kepemilikan diri" dan "metode" yang diperlukan untuk bepergian seperti "manusia waras".
Stark menyarankan edukasi penumpang sebagai solusi terhadap "masalah" tersebut dan menjadikan perjalanan kereta api sebagai alat untuk "ketenangan diri dan ketertiban massal".
Dia bukan satu-satunya yang menyarankan kesesuaian antara perjalanan kereta api yang rasional dan perilaku publik yang masuk akal. Pada tahun 1910-an, meskipun mengutuk manajemen kereta api karena melanggengkan penghinaan yang dihadapi penumpang kelas tiga, pemimpin nasionalis Mahatma Gandhi juga menyarankan mendidik penumpang kereta api sebagai sarana untuk membuat warga sipil berperilaku dengan baik.
Metafora yang berlanjut
Lebih dari satu abad kemudian, penggambaran ini terus bertahan, meski secara ironis menjadi kontras untuk memahami India kontemporer. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di The New York Times pada 12 Maret 2005, penulis memuji metro New Delhi yang saat itu masih baru, dengan menekankan bahwa "tidak ada kesan kemelaratan yang kacau dari para penjaja dan pengemis yang menjadi ciri jalur kereta api utama di India, juga tidak ada penumpang yang putus asa yang menggantung di sisi kereta."
Saat perdebatan berkecamuk tentang apakah keselamatan telah dikesampingkan demi "proyek modernisasi yang berkilau" di India - dengan analisis awal menunjukkan kegagalan pensinyalan mungkin menjadi penyebab kecelakaan pada 2 Juni 2023 - perkeretaapian terus mewakili sejarah India.
Di masa kejayaan Kerajaan Inggris, kereta api dianggap sebagai teknologi yang akan digunakan pemerintah kolonial untuk menyeret India masuk ke dalam modernitas kapitalis. Pada 1947, kereta api menjadi tema berulang yang menggambarkan trauma partisi yang menyertai kemerdekaan India dan Pakistan. Sebagaimana pemberitaan mengenai kecelakaan Odisha mengingatkan kita, kereta api terus menjadi metafora untuk mengevaluasi India kontemporer bagi orang-orang Barat.
Ritika Prasad, Associate Professor of History, University of North Carolina - Charlotte
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.