Baru-baru ini Sri Lanka sangat membutuhkan bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi terburuknya. Pada April lalu, pemerintah Sri Lanka gagal membayar utang luar negeri sebesar 15 miliar dolar AS atau sekitar Rp764 triliun. Sejak saat itu banyak harga barang naik, terutama barang impor, dan bahan bakar minyak (BBM) yang semakin langka di negara itu.

Sekolah pun ditutup karena kekurangan bahan bakar untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar dari kelas. Upayanya untuk mengatur dana talangan dari Dana Moneter Internasional (IMF) telah terhambat oleh parahnya krisis keuangan.

Namun, Sri Lanka bukan satu-satunya negara yang ekonominya berada dalam masalah serius. Kebangkrutan negara itu sekaligus menjadi lonceng alarm untuk banyak ekonomi di seluruh dunia.

Global Crisis Response Group dari Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menuturkan sekitar 1,6 miliar orang di 94 negara menghadapi setidaknya satu dimensi krisis pangan, energi dan sistem keuangan, dan sekitar 1,2 miliar dari mereka tinggal di negara-negara konflik yang sangat rentan terhadap krisis biaya hidup dan lainnya.

Kantor berita AP, menjelaskan penyebab pasti kesengsaraan mereka bervariasi, tetapi semua berbagi risiko yang meningkat seiring melonjaknya biaya pangan dan bahan bakar yang diperparahi oleh perang Rusia melawan Ukraina, tepat ketika gangguan terhadap pariwisata dan aktivitas bisnis lainnya dari pandemi virus corona memudar.

Akibatnya, Bank Dunia memperkirakan bahwa pendapatan per kapita di negara berkembang pada tahun ini akan berada di angka 5 persen di bawah tingkat pra-pandemi.

Ketegangan ekonomi memicu protes di banyak negara, sementara pinjaman jangka pendek dengan bunga lebih tinggi untuk membantu membiayai paket bantuan pandemi turut memperbesar jumlah utang di negara-negara yang sudah berjuang untuk memenuhi kewajiban pembayaran.

PBB menuturkan lebih dari separuh negara termiskin di dunia berada dalam kesulitan utang atau berisiko tinggi. Beberapa krisis terburuk terjadi di negara-negara yang sudah hancur oleh korupsi, perang saudara, kudeta, atau bencana lainnya.

Berikut adalah beberapa ekonomi yang berada dalam kesulitan atau risiko terbesar.

1. AFGHANISTAN

Afghanistan telah terhuyung-huyung dari krisis ekonomi yang mengerikan sejak Taliban mengambil kendali ketika Amerika Serikat (AS) dan sekutu Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menarik pasukan mereka pada tahun lalu.

Aksi ini lantas berimbas pada berhentinya berbagai bantuan asing, yang telah lama menjadi andalan, menghentikan transfer bank dan melumpuhkan perdagangan, serta menolak untuk mengakui pemerintah Taliban. Pemerintahan AS bahkan membekukan 7 miliar dolar AS cadangan mata uang asing Afghanistan yang disimpan di negara itu.

PBB mencatat sekitar setengah dari 39 juta penduduk negara itu menghadapi tingkat kerawanan pangan yang mengancam jiwa dan sebagian besar pegawai negeri, termasuk dokter, perawat dan guru, tidak dibayar selama berbulan-bulan. Sebuah gempa bumi yang baru-baru ini terjadi dan menewaskan lebih dari 1.000 orang, turut menambah kesengsaraan Afghanistan.

2. ARGENTINA

Laporan PBB yang dirilis bulan lalu menyebut sekitar empat dari setiap 10 orang Argentina miskin dan bank sentralnya kehabisan cadangan devisa karena mata uangnya melemah. Inflasi diperkirakan akan melebihi 70 persen pada tahun ini.

Kantor berita AP menjelaskan jutaan orang Argentina bertahan hidup sebagian besar berkat dapur umum dan program kesejahteraan negara, banyak di antaranya disalurkan melalui gerakan sosial yang kuat secara politik terkait dengan partai yang berkuasa. Kesepakatan baru-baru ini dengan IMF untuk merestrukturisasi utang 44 miliar dolar AS menghadapi pertanyaan atas konsesi yang menurut para kritikus akan menghambat pemulihan.

3. MESIR

Tingkat inflasi Mesir melonjak hingga hampir 15 persen pada bulan April lalu dan menyebabkan kemiskinan terutama bagi hampir sepertiga dari 103 juta penduduknya yang hidup dalam kerentanan.

Mereka sudah menderita dari program reformasi ambisius yang mencakup langkah-langkah penghematan menyakitkan seperti mengambangkan mata uang nasional dan pemotongan subsidi untuk bahan bakar, air dan listrik.

Bank sentral juga menaikkan suku bunga untuk mengekang inflasi dan mendevaluasi mata uang, menambah kesulitan dalam membayar utang luar negeri Mesir yang cukup besar. Cadangan devisa bersih Mesir telah jatuh. Tetangganya Arab Saudi, Qatar dan Uni Emirat Arab telah menjanjikan 22 miliar dolar AS dalam bentuk deposito dan investasi langsung sebagai bantuan.

4. LAOS

Sempat menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat sampai pandemi melanda, tingkat utang Laos telah melonjak dan sedang dalam pembicaraan dengan kreditur tentang cara membayar kembali pinjaman senilai miliaran dolar.

Bank Dunia menuturkan cadangan devisanya sama dengan kurang dari dua bulan impor. Depresiasi 30 persen dalam mata uang Laos, kip, telah memperburuk kesengsaraan itu. Kenaikan harga dan hilangnya pekerjaan karena pandemi mengancam akan memperburuk kemiskinan.

5. LEBANON

Lebanon kini mengalami keruntuhan mata uang, kekurangan, tingkat inflasi yang menghukum dan kelaparan yang meningkat, serta antrian yang mengular untuk gas. Pemulihan ekonomi di negara itu juga terhambat karena perang saudara yang panjang.

Usulan pajak pada akhir 2019 memicu kemarahan lama terhadap kelas penguasa dan protes berbulan-bulan. Mata uang mulai tenggelam dan Lebanon gagal membayar kembali senilai sekitar 90 miliar dolar AS pada saat itu, atau setara 170 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB), salah satu yang tertinggi di dunia.

Pada Juni 2021, dengan mata uang yang telah kehilangan hampir 90 persen nilainya, Bank Dunia mengatakan krisis tersebut menempati peringkat salah satu yang terburuk di dunia dalam lebih dari 150 tahun.

6. MYANMAR

Dikutip dari AP, pandemi dan ketidakstabilan politik telah menghantam ekonomi Myanmar, terutama setelah tentara merebut kekuasaan pada Februari 2021 dari pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi. Insiden itu membawa sanksi Barat yang menargetkan kepemilikan komersial yang dikendalikan oleh tentara, yang mendominasi ekonomi.

Ekonomi mengalami kontraksi sebesar 18 persen pada tahun lalu dan diperkirakan hampir tidak tumbuh pada tahun 2022. Lebih dari 700.000 orang telah melarikan diri atau diusir dari rumah mereka oleh konflik bersenjata dan kekerasan politik. Situasinya sangat tidak pasti, pembaruan ekonomi global baru-baru ini dari Bank Dunia mengecualikan perkiraan untuk Myanmar untuk 2022-2024.

7. PAKISTAN

Seperti Sri Lanka, Pakistan telah melakukan pembicaraan mendesak dengan IMF, berharap untuk menghidupkan kembali paket bailout senilai 6 miliar dolar AS yang ditunda setelah pemerintah Perdana Menteri Imran Khan digulingkan pada bulan April lalu.

Melonjaknya harga minyak mentah mendorong naiknya harga bahan bakar yang pada gilirannya menaikkan biaya lainnya, mendorong inflasi hingga lebih dari 21 persen. Mata uang Pakistan, rupee, telah jatuh sekitar 30 persen terhadap dolar AS pada tahun lalu.

Untuk mendapatkan dukungan IMF, Perdana Menteri Shahbaz Sharif telah menaikkan harga bahan bakar, menghapuskan subsidi bahan bakar dan memberlakukan "pajak super" baru 10 persen pada industri-industri besar untuk membantu memperbaiki keuangan negara yang compang-camping.

Pada akhir Maret, cadangan devisa Pakistan telah turun menjadi 13,5 miliar dolar AS.

8. TURKI

Mengutip kantor berita AP, memburuknya keuangan pemerintah dan meningkatnya defisit neraca perdagangan dan modal telah memperparah masalah Turki dengan utang yang tinggi dan inflasi yang meningkat lebih dari 60 persen.

Bank Sentral pun terpaksa menggunakan cadangan devisa untuk menangkal krisis mata uang, setelah mata uang Turki lira jatuh ke posisi terendah sepanjang masa terhadap euro dan dolar AS pada akhir tahun 2021.

Pemotongan pajak dan subsidi bahan bakar untuk meredam pukulan dari inflasi telah melemahkan keuangan pemerintah. Keluarga berjuang untuk membeli makanan dan barang-barang lainnya, sementara utang luar negeri Turki adalah sekitar 54 persen dari PDB.

9. ZIMBABWE

Inflasi di Zimbabwe telah melonjak hingga lebih dari 130 persen dan meningkatkan kekhawatiran negara tersebut dapat kembali ke hiperinflasi tahun 2008 yang mencapai 500 miliar persen dan menumpuk masalah pada ekonominya yang sudah rapuh. Inflasi telah membuat warga Zimbabwe tidak mempercayai mata uang tersebut, menambah permintaan dolar AS. AP menyebut banyak warga yang melewatkan makan karena mereka berjuang untuk memenuhi kebutuhan.

Baca Juga: