JAKARTA - Desentralisasi fiskal belum mampu mendorong pembangunan berkualitas di daerah, sehingga angka pengangguran dan kemiskinan tetap tinggi. Hal itu disebabkan komposisi belanja pegawai di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sangat besar antara 60-70 persen. Akibatnya, pemerintah daerah (pemda) tidak memiliki ruang fiskal yang cukup untuk membiayai program-program yang menciptakan lapangan kerja
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Juanda, mengatakan beberapa daerah justru kebablasan memanfaatkan keleluasaan desentralisasi fiskal dengan komposisi belanja pegawai mencapai 70 persen.
"Ada sembilan provinsi yang memiliki rata-rata pertumbuhan belanja pegawai lebih tinggi dari belanja modal, sehingga memiliki keterbatasan mendanai program dan kegiatan yang meningkatkan pelayanan publik," kata Juanda dalam diskusi daring di Jakarta, Rabu (24/3).
Pemerintah pusat, katanya, perlu mengatur mengenai belanja daerah melalui mandatory spending.
Selain komposisi, pengelolaan keuangan daerah di luar Jawa dan Bali belum efisien, sehingga banyak daerah yang kinerja kesehatan fiskalnya masih sedang dan rendah. Misalnya Papua, yang kinerja kesehatan fiskalnya berada pada kategori sedang dengan persentase 50 persen.
"Ini juga yang menyebabkan investor lebih banyak di Jawa-Bali, dengan kontribusi sekitar 60 persen jika dilihat dari pengelolaan keuangan daerah," kata Juanda.
Faktor lainnya adalah penyerapan anggaran yang rendah dan tidak optimal utamanya pada belanja modal yang baru dicairkan pada akhir tahun. Porsi dana desa pun yang ditempatkan di perbankan makin besar tiap tahun.
Secara terpisah, Pakar Ekonomi dari Universitas Brawijaya (UB) Malang, Munawar Ismail, mengatakan sulit berharap daerah melaksanakan pembangunan yang berkualitas seperti pengentasan kemiskinan karena postur APBD-nya yang kecil.
"APBD sudah lama hanya digunakan untuk belanja pegawai, terutama oleh kepala daerah yang menang pilkada sebagai kompensasi untuk dukungan yang diberikan, baik untuk pengangkatan, tunjangan, dan fasilitas lainnya," kata Munawar.
Akibatnya, belanja untuk pembangunan hampir tidak ada. Apalagi sumber pendapatan daerah tidak sekuat pajak-pajak yang ditarik pusat, sehingga manuver APBD untuk mengatasi kemiskinan jadi terbatas.
"Kalau hanya mengandalkan anggaran untuk pemerataan itu sulit, lebih baik daerah memberi kemudahan swasta untuk investasi agar menyerap tenaga kerja lebih banyak. Kalau ekonomi berjalan, akan lebih efektif mengatasi kemiskinan," kata Munawar.
Politik Anggaran
Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Studi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Awan Santosa, mengatakan politik anggaran di daerah belum produktif. Alokasi budget tidak diarahkan untuk mendorong belanja di sektor riil, yang berkaitan langsung dengan ekonomi warga.
Dia mengutip Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang menyatakan 70 persen APBD untuk belanja pegawai/kedinasan. Sebesar 13,4 persen untuk perjalanan dinas, 17,5 persen untuk jasa kantor, dan 36 persen belanja pegawai termasuk gaji dan tunjangan.
"Artinya, masalah kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran belum mendapat dukungan penyelesaian fiskal yang memadai," tutup Awan.
n SB/ers/E-9