BOGOR - Perubahan iklim, revolusi Industri 4.0, dan pandemi Covid-19 telah melahirkan model ekonomi baru. Rektor IPB, Arif Satria, dari Bogor, Rabu (1/9), mengatakan arus perubahan yang luar biasa telah menuntut manusia untuk mampu merespons.
Perubahan iklim, misalnya, mendorong manusia untuk lebih peduli pada alam dan lingkungan. Perubahan iklim tak hanya berdampak pada lingkungan dengan munculnya bencana alam, seperti banjir dan kekeringan, tapi juga menimbulkan krisis energi dan air bersih.
Sedangkan disrupsi akibat perubahan iklim ini memunculkan ekonomi hijau (pertanian) dan ekonomi biru (kelautan). Revolusi industri yang dipicu oleh kemajuan teknologi telah berdampak pada cara hidup dan perilaku manusia.
Manusia, jelasnya, dituntut untuk mampu merespons kemajuan teknologi yang menawarkan kecepatan dan efisiensi dengan mengembangkan kemampuan baru di bidang Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), dan sebagainya.
Menurut Arif, revolusi industri juga berdampak pada revolusi biologi dan kini sudah menjadi sebuah keniscayaan. Dulu, biologi mandiri dan independen, tapi saat ini harus berkolaborasi dengan teknologi informasi.
"Kalau sekarang kita bisa menyimpan data di cloud, hard disk, ke depan kita bisa menyimpan data di DNA," jelas Arif seperti dikutip dari Antara.
Revolusi industri, paparnya, telah melahirkan model ekonomi berbagi (sharing economy) atau ekonomi digital. Belum selesai dengan perubahan iklim dan revolusi Industri 4.0, dunia dihadapkan pada disrupsi lain, yaitu pandemi Covid-19 yang telah mengubah banyak hal mulai cara hidup, belajar, bekerja, hingga dampak ekonomi dan ekologi.
Model ekonomi normal baru merupakan gabungan dari ekonomi hijau/biru, ekonomi digital, dan model ekonomi yang lahir sebagai respons atas munculnya pandemi. Ekonomi normal baru memiliki sejumlah karakteristik, di antaranya fokus pada agromaritim, menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan baru, dan perilaku manusia yang sehat dan hijau untuk mendukung konsumsi yang berkelanjutan.
Agromaritim perlu dikembangkan sebagai respons terhadap tuntutan kemandirian pangan. Selama pandemi, katanya, sejumlah negara menahan stok pangan mereka sehingga kemandirian pangan menjadi keniscayaan.
Sebab itu, kontribusi desa dalam ekonomi perlu ditingkatkan karena banyak negara dengan produk domestik bruto yang tinggi sebagian besar penduduknya tinggal di wilayah perdesaan. "Desa menjadi sumber pertumbuhan baru di hampir semua negara maju," kata Arif.
Berpusat di Kota
Sementara itu, Koordinator Jogja Startup Foundation (JSF), Anggoro, mengatakan masalah di Indonesia salah satunya karena ekonomi yang berpusat di perkotaan. Internet yang diharapkan mendisrupsi hal itu sehingga perdesaan jadi soko guru ekonomi nasional.
"Jangan e-commerce yang digadang-gadang sebagai disrupsi, tapi barang yang dijual barang impor. Ini kan masalah lagi, semestinya infrastruktur produksi dalam negeri itulah yang dikuatkan," kata Anggoro.