BI sebagai otoritas moneter over confidence kalau rupiah masih berada di rentang aman.
JAKARTA - Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional sebagai konsekuensi dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) secara drastis.
Depresiasi rupiah itu berpotensi menggerus penerimaan negara dari ekspor, sehingga berimplikasi signifikan pada turunnya arus pendapatan dan belanja negara tahun depan.
Analis ekonomi politik dari FINE Institute, Kusfiardi, mengatakan di sisi lain pengeluaran untuk biaya impor barang dan jasa akan meningkat karena nilai tukar yang lebih lemah sehingga akan meningkatkan tekanan inflasi dan pada akhirnya menurunkan daya beli di pasar domestik.
"Meskipun harga komoditas ekspor seperti minyak dan batu bara menunjukkan peningkatan, keuntungan dalam rupiah yang diterima pemerintah dapat tergerus," kata Kusfiardi di Jakarta, Selasa (25/6).
Sebab itu, diversifikasi ekspor menjadi krusial untuk mengurangi risiko terhadap fluktuasi mata uang asing. Pemerintah pun perlu mengambil kebijakan fiskal yang hati-hati dan proaktif, termasuk dalam pengelolaan investasi infrastruktur yang strategis.
Selain fiskal, kebijakan moneter oleh Bank Indonesia (BI) seperti intervensi pasar valuta asing, penyesuaian kebijakan suku bunga, serta penyesuaian kebijakan impor sangat krusial.
Diminta terpisah, Guru Besar Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan yang menjadi problema saat ini adalah kepercayaan diri berlebihan (over confidence) dari otoritas moneter kalau rupiah masih di rentang aman. Padahal, rupiah di kesetimbangan 15.000-16.000 per dollar AS, dampaknya sangat berbeda pada ekonomi RI.
"Ada kesetimbangan baru rupiah di rentang 16-17 ribu rupiah per dollar AS. Fakta ini tidak boleh ditolak dengan pernyataan-pernyataan seolah-olah pelemahan ini wajar. Karena dampaknya bagi sektor riil maupun moneter sangatlah besar," kata Aloysius.
Otoritas, menurut Aloysius, harus segera melakukan langkah-langkah strategis dalam kebijakan di banyak sektor dengan menggunakan kesetimbangan rupiah yang baru tersebut.
Selain itu, dia menekankan perlunya peningkatan koordinasi antara lembaga keuangan, pemerintah, dan sektor swasta untuk mengatasi dampak negatif dari pelemahan nilai tukar rupiah ini.
"Kebijakan fiskal dan moneter harus lebih sinkron dalam menghadapi kondisi ini. Pemerintah perlu mempertimbangkan insentif bagi ekskomoditas ekspor yang terdampak serta berupaya untuk mengurangi ketergantungan pada impor," tambahnya.
Dia juga meminta pemerintah dan BI agar memperkuat cadangan devisa sebagai upaya untuk menstabilkan nilai tukar dan mengurangi volatilitas.
"Peningkatan cadangan devisa memberikan kepercayaan lebih kepada pasar dan menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi," jelasnya.
Selain itu, upaya untuk meningkatkan daya saing produk domestik di pasar internasional harus diperkuat agar Indonesia tidak hanya bergantung pada ekspor komoditas mentah.
Dalam jangka panjang, Aloysius menekankan pentingnya diversifikasi ekonomi dan pengembangan sektor-sektor yang memiliki nilai tambah tinggi. "Kebergantungan pada ekspor komoditas membuat ekonomi rentan terhadap fluktuasi harga global. Kita perlu mendorong industri manufaktur dan jasa yang memiliki nilai tambah lebih tinggi untuk menciptakan ekonomi yang lebih resilient," pungkas Aloysius.
Impor Pangan
Sementara itu, pengamat pertanian dari UPN Veteran Jawa Timur, Zainal Abidin, mengatakan salah satu faktor yang menyebabkan nilai kurs rupiah terus turun adalah besarnya impor pangan nasional. Dia meminta pemerintah membatasi impor pangan dan mendahulukan produk yang dapat disubtitusi.
"Kebutuhan masyarakat memang besar, jika terus-menerus dipenuhi dengan impor, otomatis ini akan berdampak pada nilai tukar," kata Zainal.
Sebab itu, impor pangan harus lebih terkendali sehingga dapat memberi kesempatan pemerintah dan pelaku industri pertanian membangun pasarnya. Secara bertahap, impor harus dibatasi hanya pada produk-produk yang tidak ada subtitusinya.
"Kalau ini berjalan maka akan menjadi angin segar bagi petani dan industri pertanian kita. Mereka dapat lebih leluasa mengisi pasar dalam negeri yang selama ini sulit bersaing dengan produk impor, lalu setapak demi setapak menjajaki pasar ekspor," katanya.