JAKARTA - Bank Indonesia (BI) terlihat panik dalam menghadapi tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Hal itu terlihat pada agresifnya bank sentral menarik dana masuk ke salah satu instrumen moneternya yaitu Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Saking agresifnya, otoritas moneter itu terkesan bersaing ketat dengan pemerintah sebagai otoritas fiskal menyedot likuiditas di pasar melalui penawaran bunga yang lebih kompetitif.

BI gencar menarik dana dengan memberikan imbal hasil yang lebih tinggi. Dalam lelang terakhir SRBI pada Rabu (8/5), BI menetapkan imbal hasil (yield) rata-rata yang dimenangkan untuk SRBI tenor 12 bulan dengan yield 7,53 persen, sedangkan SRBI tenor 9 bulan ditetapkan di 7,4 persen dan tenor 6 bulan 7,31 persen.

Tingkat penawaran imbal hasil tenor pendek itu menjadi yang tertinggi sejak SRBI, instrumen penarik hot money atau dana asing jangka pendek, diperkenalkan pada September tahun lalu. Dalam lelang tersebut, BI menyerap permintaan sebanyak 22,48 triliun rupiah yang didominasi oleh tenor 12 bulan, sehingga total penarikan likuiditas melalui SRBI mencapai 79,55 triliun rupiah sejak keputusan menaikkan suku bunga acuan BI7days Reverse Repo Rate bulan lalu.

Agresivitas BI menarik dana investor dengan menawarkan imbal hasil lebih tinggi dari suku bunga acuan, juga melampaui level imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor terpendek. Hal itu memicu kekhawatiran akan semakin besarnya derajat keketatan likuiditas yang harus dihadapi oleh pemerintah dan perbankan.

Dalam lelang Surat Utang Negara terakhir pada 30 April, investor meminta yield tinggi untuk obligasi pemerintah tenor 12 bulan (seri SPN) hingga 7,15 persen. Pemerintah akhirnya memenangkan di 6,82 persen, lebih tinggi dibanding yield yang dimenangkan sebelum bunga acuan naik dalam lelang akhir Maret di level 6,48 persen.

Sangat Terasa

Menanggapi situasi tersebut, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan kompetisi memperebutkan likuiditas itu sulit dihindari karena depresiasi rupiah terhadap dollar AS telah berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia, terutama kalau melihat posisi impor yang relatif besar.

"Jika neraca perdagangan Indonesia surplus, artinya ekspor lebih besar daripada impor maka tekanan rupiah ini tidak terlalu mengkhawatirkan. Tetapi, masalahnya kebutuhan impor yang tinggi dan transaksi impor dibayar dengan dollar AS membuat depresiasi rupiah sangat terasa di Indonesia," kata Esther.

Dia mencontohkan, impor saat ini bukan hanya komoditas tertentu, tetapi mulai dari komoditas minyak, beras, dan kebutuhan pangan lainnya, impor bahan baku/intermediate lainnya, impor barang jadi seperti baju, dan lain sebagainya.

"Jika ingin mengurangi dampak ini maka kita juga harus mengupayakan agar tidak terlalu banyak impor. Artinya, didorong untuk produksi domestik lebih banyak. Paling tidak memproduksi barang substitusi impor dulu," ungkap Esther.

Baca Juga: