JAKARTA - Kebijakan Bank Indonesia (BI) yang telat menaikkan suku bunga acuan BI7days Reverse Repo Rate harus dibayar mahal. Sebab, makin meningkatnya ketidakpastian sebagai dampak dari faktor eksternal khususnya instabilitas keamanan global membuat dollar Amerika Serikat (AS) sangat kuat, sehingga kurs rupiah makin terpuruk.

Dalam kondisi tertekan, otoritas moneter diminta betul-betul menyiapkan strategi yang tepat dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, bukan membuat benchmark pada level tertentu yang menyebabkan rupiah makin jatuh dan memicu inflasi. Sebab, rupiah yang makin tertekan otomatis menyebabkan inflasi. Hal itu karena tingginya kebergantungan Indonesia pada barang impor termasuk platform perdagangan e-commerce yang sebagian besar memperdagangkan barang impor.

Pengamat Ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, yang diminta pendapatnya mengatakan kalau rupiah menguat itu hanya bersifat sementara (temporary), nantinya akan kembali merosot lagi karena fundamental ekonomi makro dan mikro Indonesia lemah sekali. "Makanya, jangan buat patokan (benchmark) baru untuk rupiah seperti di negara lain, yang ada langsung drop mengikuti benchmark itu. Berbeda dengan Jepang yang fundamental ekonominya kuat," kata Aditya.

Kalau mata uang mereka yen, sekarang melemah terhadap dollar AS, ke depan bisa kembali menguat lagi. Kondisi tersebut berbeda dengan rupiah yang melemah, pasti akan memacu inflasi. "Rupiah melemah itu langsung inflasi. Kalau rupiah terdepresiasi 10 persen, saat itu juga terjadi inflasi," kata Aditya.

Ekonomi Indonesia, jelas dia, sebenarnya basisnya dollar AS, hanya pembayarannya menggunakan rupiah. Terbukti, e-commerce didominasi barang impor. Kalau sudah bergantung impor dan modal investasi tergantung dollar maka langsung inflasi.

Apalagi di sisi demand-nya, upah minimum regional (UMR) tidak menyejahterakan kaum buruh. Bukan karena nilainya, tetapi besaran kenaikannya yang tidak akan mampu mengejar inflasi. "Inflasi itu memiskinkan dan tidak akan berhenti, seperti bola salju. Gulungannya semakin lama makin besar sampai pemerintah tidak akan berdaya," kata Aditya.

Pengalaman di berbagai negara yang terus memberi subsidi, baik pangan maupun energi, pada akhirnya tidak akan mampu bertahan.

Berbagai kalangan pun sudah mengingatkan pemerintah selama belasan tahun agar mengupayakan ketahanan pangan mandiri, tapi tidak dikerjakan. Jika sekarang, kalau baru mau memulai tetap bisa, tetapi hasilnya baru akan terasa 3-5 tahun lagi. Itu pun kalau dikerjakan dengan benar, bukan setiap proyek dikorupsi atau tidak sesuai perencanaan.

"Food estate (lumbung pangan) gagal karena kita sudah terbiasa mengambil jalan pintas, terbiasa dengan praktik rent seeking (berburu rente). Kalaupun kita memulai sekarang, hasilnya baru akan dirasakan pemerintahan periode selanjutnya," katanya.

Perlu Diwaspadai

Ekonom dari lembaga riset Center of Economic and Law Stuides (Celios), Bhima Yudisthira, pada kesempatan lain juga sepakat dengan penguatan rupiah saat ini yang bersifat sementara. "Pelemahan rupiah masih perlu diwaspadai. Jangan lengah dengan penguatan yang sifatnya hanya temporer," tegas Bhima.

Lebih lanjut, dia menjelaskan indikator penjualan bersih asing (nett sell) di bursa saham masih mencapai sekitar 13,3 triliun rupiah sejak awal tahun. Kondisi yang sama pun juga masih terjadi di pasar Surat Utang.

Di sisi lain, kebutuhan impor, baik bahan bakar minyak (BBM) maupun pangan, sedang tinggi apalagi jelang akhir tahun di mana ada siklus lonjakan kenaikan permintaan jelang Natal dan Tahun Baru (Nataru).

Baca Juga: