» Industri yang impor bahan baku dan barang modal bakal mengalami kenaikan biaya produksi.

» Kalau output perusahaan tersebut merupakan barang konsumsi domestik akibatnya adalah inflasi yang cukup tinggi yang disebut imported inflation.

JAKARTA - Nilai tukar rupiah (kurs) rupiah di pasar uang antarbank menjelang penutupan perdagangan akhir pekan terus melemah karena dipengaruhi sentimen negatif global. Rupiah ditutup melemah 60 poin atau 0,39 persen ke posisi 15.632 per dollar Amerika Serikat (AS) dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sehari sebelumnya di level 15.572 per dollar AS.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Katolik (Unika) Atmajaya Jakarta, Yohanes B. Suhartoko, mengatakan Bank Indonesia (BI) dan pemerintah harus waspada dengan pelemahan nilai tukar rupiah.

Dengan perkembangan terkini, jelas Suhartoko, yang perlu mendapat perhatian adalah pasar valuta asing, terutama permintaan dollar AS.

Jika pelemahan nilai tukar rupiah hanya berlangsung sehari-dua hari dan volatilitasnya tidak terlalu lebar maka hal itu bisa dikatakan terjadi bukan karena faktor yang tidak fundamental.

"Namun, jika penurunan rupiah berkelanjutan dan dalam jumlah besar maka sangat mungkin digerakkan oleh capital outflow dan naiknya permintaan dollar untuk disimpan dan berjaga karena ekspektasi menguatnya dollar AS," katanya.

Depresiasi yang dalam paparnya akan berdampak pada industri dalam negeri yang menggunakan bahan baku impor. Mereka harus membayar dengan valas, sehingga terjadi kenaikan cost atau biaya yang pada akhirnya akan mendorong harga-harga naik.

"Kalau output perusahaan tersebut merupakan barang konsumsi domestik akibatnya adalah inflasi yang cukup tinggi yang disebut imported inflation," jelasnya.

Faktanya, mayoritas impor Indonesia itu merupakan bahan baku dan barang modal. "Karena itu, ke depan perlu dipikirkan kemandirian bahan baku ini biar tidak rentan apabila rupiah melemah," kata Suhartoko.

Sentimen Global

Sementara itu, Ekonom Senior Mirae Asset Sekuritas, Rully Arya Wisnubroto, saat dihubungi Antara di Jakarta, Jumat (4/11), mengatakan pergerakan rupiah memang lebih banyak akibat sentimen dari global, terutama karena dollar AS terus menguat terhadap mata uang lainnya.

Rully menyampaikan beberapa mata uang negara berkembang saat ini memang melemah signifikan, mengikuti yen dan poundsterling.

"Memang terjadi gejolak, ketidakpastian politik di Inggris, sedangkan yen melemah karena Bank of Japan (BoJ) masih menerapkan kebijakan moneter yang ekstra longgar di tengah tren kenaikan suku bunga di negara-negara lainnya," jelas Rully.

Dari domestik, lanjut Rully, kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia dinilai cukup, tidak terlalu tinggi, tapi juga tidak terlalu rendah.

"Kalau terlalu tinggi dikhawatirkan mengganggu pemulihan ekonomi, berpotensi menyebabkan perlambatan ekonomi yang lebih dalam. Kenaikan suku bunga juga tidak terlalu rendah, sehingga dapat menjaga spread dengan Fed Fund Rate," kata Rully.

BI pada pertengahan Oktober lalu kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) dari 4,25 persen menjadi 4,75 persen, setelah pada bulan lalu turut meningkatkan bunga acuan dengan besaran yang sama.

Selain bunga acuan, bank sentral turut menaikkan suku bunga deposit facility dan lending facility masing-masing sebesar 50 bps menjadi 4 persen dan 5,5 persen.

BI menyebut keputusan itu sebagai langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini terlalu tinggi atau overshooting.

Selain itu, keputusan tersebut untuk memastikan inflasi inti ke depan kembali ke dalam sasaran 2-4 persen lebih awal, yaitu ke paruh pertama 2023, serta memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah.

Rupiah pada perdagangan Jumat pagi dibuka melemah ke posisi 15.581 per dollar AS. Sepanjang hari rupiah bergerak di kisaran 15.579 per dollar AS hingga 15.634 per dollar AS.

Sementara itu, kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Jumat melemah ke posisi 15.610 per dollar AS dibandingkan posisi hari sebelumnya di level 15.579 per dollar AS.

Baca Juga: