Dalam sistem demokrasi, partai politik (parpol) memiliki kedudukan strategis. Di satu sisi, parpol memiliki otoritas menyeleksi calon pejabat publik, mulai dari anggota legislatif hingga eksekutif --bupati, wali kota, gubernur, dan presiden.

Di sisi lain, dia juga mengemban tugas berat sebagai institusi yang dipercaya mendidik dan mengader politik masyarakat. Maka, tidak berlebihan partai disebut sebagai salah satu pilar demokrasi.

Ironisnya, peran strategis itu kerap tidak maksimal dijalankan parpol lantaran terjebak dalam sejumlah problem institusional. Salah satunya, yang penting dicermati kegagalan sejumlah partai mempraktikkan demokrasi di lingkup internal. Indikasi kegagalan dapat dilihat dari sejumlah partai tidak menerapkan prinsip demokrasi dalam pemilihan ketua umum.

Contoh paling nyata terjadi di dua partai politik besar yang baru-baru ini mengangkat ketua umum secara aklamasi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan PDIP. Alasannya klise, tidak ada sosok lain dalam trah Soekarno yang tepat dan pantas menduduki kursi tertinggi partai berlambang kepala banteng moncong putih tersebut.

Muktamar PKB yang juga digelar di Bali tanggal 20-21 Agustus 2019 lalu pun kembali mengukuhkan Muhaimin Iskandar sebagai ketua umum. Muhaimin telah menakhodai partai itu sejak Muktamar II PKB tahun 2005 silam. Muktamar PKB tahun ini juga menetapkannya sebagai mandataris tunggal partai dan pemegang hak veto untuk menganulir semua keputusan partai.

Daftar paradoks demokrasi di lingkup internal partai tentu bisa dengan mudah diperpanjang dengan kasus-kasus sejenis. Pada titik ini, pantas bertanya, mengapa parpol yang memiliki peran strategis dalam demokrasi malah gagal menerapkan prinsip demokrasi di lingkup internal? Menukil pernyataan pakar politik Burhanudi Muhtadi (2019), problem demokrasi lingkup internal partai berakar dari masalah akut terkait institusionalisasi partai sebagai lembaga politik.

Institusionalisasi sebagai proses pelembagaan partai dalam bentuk pola perilaku, nilai, serta budaya politik yang saling terintegrasi. Kandungan utama institusionalisasi partai terdiri atas unsur internal-eksternal dan struktural-kultural. Persilangan dua dimensi itu akan menghasilkan sejumlah model, di antaranya derajat sistem yang merupakan produk persilangan antara unsur struktural dan internal.

Kemudian, derajat identitas, hasil perkawinan aspek kultural dan internal. Otonomi keputusan yang lahir dari tarik-menarik aspek eksternal dengan struktural. Citra opini publik yang terbentuk dari proses internalisasi dan reifikasi aspek eksternal dan kultural. Di antara dimensidimensi institusionalisasi partai tadi, derajat sistem menduduki posisi paling krusial.

Sehat sakitnya partai ditentukan seberapa efisien derajat sistem berjalan. Hal ini bisa diukur dari cara fungsi partai berjalan, cara mekanisme transparansi pengambilan keputusan dipraktikkan dan manajemen konflik dikelola sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ ART).

Reformasi Sistemik

Dalam konteks Indonesia, problem pokok institusionalisasi partai sehingga gagal mempraktikkan demokrasi di lingkup internal antara lain karena umumnya berkembang menjadi institusi yang lebih mengedepankan sosok atau figur tertentu sebagai komoditas politik. Nyaris semua parpol tergantung pada satu figur kharismatik yang dianggap bisa memberi insentif elektoral dan simbol partai.

Kondisi ini membuat sejumlah partai gagal menjadi institusi politik berkarakter modern yang dikelola dengan sistem birokrasi bukan bertumpu pada kharisma tokoh. Sejumlah partai lantas bergantung pada sentimen personal alih-alih institutional appeals. Maka, pemilihan ketua umum kerap kali hanya sandiwara atau formalitas belaka.

Pada kenyataannya, ketua umum lebih sering diputuskan melalui kesepakatan internal secara tertutup. Masalah keterbatasan pendanaan yang terbilang merupakan problem klasik semua lembaga nonprofit. Secara umum partai membutuhkan pembiayaan untuk operasional dan kampanye pemilihan umum.

Selama ini, partai mendapat pembiayaan dari sumber utama bantuan pemerintah melalui APBN, iuran anggota, serta kader. Namun, sumber pendanaan itu tidak bisa menutupi kas partai yang nyaris selalu mengalami defisit. Alhasil, partai mencari sumber pendanaan lain dari sumbangan perorangan kalangan pengusaha.

Sumbangan ini tentu tidak bersifat sukarela, melainkan semacam simbiosis mutualistis. Konsekuensinya, parpol harus membela kepentingan para elite ekonomi sebagai penyandang dana. Hal inilah yang membuat sejumlah partai terjebak dalam jejaring oligarki antara elite ekonomi dan politik. Terakhir, partai dihadapkan pada kerentanan perpecahan akibat faksionalisasi internal yang dilatari konflik kepentingan antarelite dalam internal partai atau perebutan kekuasaan dalam tubuh partai itu sendiri.

Faksionalisasi yang dilatari perebutan kekuasaan acapkali menjadi benih konflik dan perpecahan dalam partai. Sebagai solusinya, sejumlah partai cenderung menghindari faksionalisasi dengan mengajukan calon tunggal dan memilihnya secara aklamasi sebagai ketua umum. Tidak berjalannya prinsip demokrasi dan meritokrasi internal partai jelas merupakan ancaman demokrasi secara keseluruhan.

Jika partai saja gagal mendemokratisasikan diri, lalu bagaimana bisa menjadi pilar demokrasi? Situasi dilematis dan penuh paradoks ini tentu harus segera dicarikan solusi. Di sinilah letak urgensi reformasi internal dalam tubuh partai. Tujuannya membangun partai sebagai institusi publik yang dijalankan dengan manajemen birokrasi terbuka dan demokratis

. Reformasi partai dapat dimulai dengan mengubah AD/ART agar sesuai dengan prinsip dan nilai demokrasi. Setiap aturan yang potensial melahirkan dominasi seseorang atau sekelompok orang dalam tubuh sebuah partai hendaknya diganti dengan aturan yang menjamin asas egalitarianisme. Kemudian, membangun basis massa yang kuat dan loyal di level akar rumput. Rekrutmen anggota serta kaderisasi harus dilakukan semua parpol agar terjalin ikatan kuat antara partai dan konstituen sebagai calon pemilih.

Terciptanya basis massa yang kuat akan secara perlahan menurunkan ketergantungan partai pada satu figur tertentu. Parpol yang memiliki basis massa ideologis di level akar rumput kemungkinan besar akan tetap solid tidak peduli siapa pun ketua umumnya.

Tidak kalah penting ialah memperbaiki mekanisme pendanaan partai yang transparan dan melibatkan publik akan memperkecil kesempatan elite-oligarkis untuk menguasai partai dan menjadikannya sebagai alat untuk mewujudkan ambisi atau kepentingan pribadi/golongan.

Desi Ratriyanti, Penulis dari Indonesia Muslim Youth Forum

Baca Juga: