Kemunculan Daltacron merupakan sifat alami virus untuk tetap hidup dengan memanfaatkan tubuh manusia sebagai inang untuk bertahan.

JAKARTA - Ketua Satuan Tugas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zubairi Djoerban, mengatakan varian Covid-19 yang mengandung elemen Delta dan Omicron (Deltacron) belum menjadi mutasi yang mengkhawatirkan.

"Deltacron menyebar ke banyak orang lain. Namun, jumlah orang dengan Deltacron tidak terlalu banyak. Belum masuk perhatian dan kekhawatiran kita," kata Zubairi Djoerban saat menghadiri Pembukaan Monumen Pengabdian Dokter Indonesia di Menteng, Jakarta, Kamis (17/3).

Ia mengatakan Deltacorn merupakan varian kombinasi dari Delta yang memiliki karakteristik memicu kesakitan dengan gejala berat sementara Omicron sangat mudah menular.

Kombinasi keduanya, kata Zubairi, sangat mudah menembus pertahanan imun seseorang kemudian menaikkan kegawatan gejala saat tertular. "Untungnya, tidak demikian yang terjadi. Tidak terlalu menyebar dan tidak amat mematikan," ujarnya.

Zubairi mengatakan kemunculan Daltacron merupakan sifat alami virus untuk tetap hidup dengan memanfaatkan tubuh manusia sebagai inang untuk bertahan.

"Supaya tetap hidup, virus itu masuk ke tubuh orang, virus harus numpang di inang manusia yang dimasukkan. Karena itu, mereka bermutasi karena orang-orang sudah pada kena (tertular)," ujarnya.

Ia mengatakan Deltacron muncul karena ada varian Delta dan varian Omicron. Dua-duanya kemudian masuk dalam tubuh seorang pasien, kemudian pada waktu mutasi, muncul rekombinan pada sel virus. Jadi munculah Deltacron.

Secara terpisah, Juru Bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan hingga saat ini pihaknya belum mendeteksi kemunculan Deltacron di Indonesia.

Didominasi Omicron

Ia mengatakan situasi pandemi Covid-19 saat ini masih didominasi varian Omicron beserta sejumlah subvariannya. Hingga 15 Maret 2022, tercatat ada 668 kasus akibat penularan subvarian Omicron BA.2 di Indonesia. Meski demikian, Subvarian Omicron BA.1 masih mendominasi di Tanah Air.

"Di data nasional kita secara umum itu BA.2 sudah 668, BA.1 itu paling banyak yang menyebabkan terjadinya peningkatan kasus. Ini secara kumulatif dari Januari sampai dengan Maret itu ada 5.625 kasus," katanya.

Menkes Budi Gunadi Sadikin, menyebut pandemi Covid-19 dan endemi hanya berbeda nama, sedangkan virusnya tetap ada. Penularan Covid-19 diperkirakan akan tetap terjadi meski derajat keparahannya lebih rendah dibandingkan saat pandemi.

Menurut Menkes, fase endemi akan tercapai jika masyarakat sudah memahami mengenai risiko penyakitnya serta sudah melakukan protokol kesehatan secara sadar tanpa dipaksa pemerintah.

"Saya bilang misalnya contoh DBD. Ini masyarakat sudah tahu itu lagi DBD maka disemprotlah, jangan banyak jentik-jentik deh, kalau terjangkit panasnya naik turun, udah tahu dia cek darahnya. Kalau kena langsung masuk rumah sakit tanpa ada pemaksaan intervensi atau dorongan dari pemerintah," ujar Gunadi.

Menkes mengatakan Presiden Joko Widodo telah meminta mempersiapkan skenario untuk mengubah pandemi Covid-19 menjadi endemi. Seluruh fase pandemi di dunia, pada akhirnya selalu menjadi endemi hanya saja membutuhkam persiapan.

Merujuk sejarah pandemi di dunia, selalu membutuhkan banyak faktor pertimbangan untuk mengubah menjadi endemi. "Enggak pernah faktor kesehatan saja. Ada faktor sosial, politik, ekonomi, budaya yang menjadi pertimbangan baik seorang pimpinan negara maupun dunia mengubah itu menjadi pandemi sebagai endemi," kata dia.

Menkes menuturkan sesuai masukan para epidemiolog, laju penularan atau reproduction rate (Rt) harus ditekan di bawah satu dalam rentang tiga hingga enam bulan, serta cakupan vaksinasi dua dosis minimal mencapai 70 persen dari populasi.

"Kalau itu sudah terjadi nah itu dari sisi kesehatan sudah masuk kondisi yang relatif aman kalau misalnya nanti mau di-declair sebagai endemi," kata dia.

Baca Juga: