Deflasi akibat tertekannya daya beli masyarakat dikhawatirkan dapat mengganggu dunia bisnis sehingga membuatnya melakukan efisiensi, seperti saat penerapan PSBB beberapa bulan lalu.

JAKARTA - Deflasi pada Juli lalu seiring dampak pelemahan konsumsi masyarakat menjadi lampu kuning bagi pemerintah. Sebab, deflasi dikhawatirkan dapat mengancam kelangsungan dunia bisnis di Tanah Air.

Pascapelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada Juni lalu, sebanyak sembilan sektor perekonomian dibuka, termasuk industri manufaktur. Sayangnya, peningkatan produksi pascapelonggaran PSBB tak dibarengi dengan penguatan daya beli masyarakat.

Kondisi tersebut membuat pasar mengalami kelebihan pasokan atau oversupply. Menghadapi situasi seperti itu, sejumlah pelaku bisnis dikhawatirkan akan kembali melakukan efisiensi sehingga dikhawatirkan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Saat ini, perusahaan biasanya mengurangi produksi dan melakukan efisiensi berbagai biaya, termasuk biaya tenaga kerja," ungkap Ekonom Universitas Diponegoro Semarang, Esther Sri Astuti, kepada Koran Jakarta, Selasa (4/8).

Karena itu, Esther menilai pemerintah perlu segera bertindak mengatasi deflasi pada Juli lalu, terutama bagi dunis bisnis. Sebab, sektor tersebut menjadi salah satu kunci utama bagi pemulihan ekonomi nasional di tengah pandemi Covid-19.

"Oleh karena itu, industri yang masih mempertahankan karyawannya seharusnya diberi insentif, seperti relaksasi pajak, relaksasi kredit agar mereka bisa sedikit bernafas. Terus terang, mereka (pelaku bisnis) bisa survive (bertahan) saja sudah bagus," ujar Esther.

Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi deflasi pada Juli 2020 sebesar 0,10 persen atau melambat dibandingkan Juli 2019 yang mengalami inflasi 0,31 persen. Pergerakan yang melandai ini juga terlihat dalam dua bulan sebelumnya yaitu pada Mei dan Juni 2020 yang tercatat inflasi masing-masing 0,07 persen dan 0,18 persen. Padahal, pada periode sama tahun sebelumnya, ketika terjadinya Ramadan dan Lebaran, inflasi Mei dan Juni 2019 mencapai 0,68 persen dan 0,55 persen.

Selama periode Juli 2020, kelompok pengeluaran yang selama ini menjadi penyumbang inflasi juga sama sekali tidak menyumbang andil karena minimnya permintaan konsumen. Kelompok itu antara lain perumahan, air, listrik dan bahan bakar rumah tangga, kemudian, informasi, komunikasi dan jasa keuangan, serta rekreasi, olahraga dan budaya.

Dengan terjadinya deflasi tersebut, maka inflasi tahun kalender Januari-Juli 2020 mencapai 0,98 persen dan inflasi tahun ke tahun (yoy) sebesar 1,54 persen. Bahkan, Kepala BPS, Suhariyanto, menyebut inflasi secara tahunan (yoy) pada Juli lalu terendah sejak Mei 2000. "Inflasi tahunan terendah sejak Mei 2000 yang tercatat 1,2 persen," kata Suhariyanto.

Penurunan Kapasitas

Sementara itu, pengamat ekonomi, Bhima Yudhistira, menilai deflasi menunjukkan adanya tekanan dari sisi permintaan sehingga pelaku usaha menurunkan kapasitas produksinya. Bahkan, lanjutnya, mayoritas mereka melakukan diskon atau jual rugi agar stok lama habis terjual. Situasi ini, menurutnya, tidak menguntungkan dunia usaha.

Karena itu, dia menilai diperlukan intervensi kebijakan dari pemerintah, termasuk stimulus untuk mendongkrak daya beli masyarakat. "Salah satunya dengan perluasan sasaran bantuan sosial ke masyarakat kelas menengah rentan miskin. Selain itu, penanganan Covid-19 harus lebih optimal sehingga kepercayaan konsumen bisa pulih secara cepat," jelasnya.

ers/E-10

Baca Juga: