JAKARTA - Pemerintah jangan lepas tangan soal deflasi beruntun yang terjadi selama lima bulan berturut- turut. Deflasi saat ini patut dipahami sebagai indikasi melemahnya sisi permintaan yang membuat demand pull inflation rendah. "Bagi negara berkembang dan sedang berada pada fase bonus demografi, kondisi deflasi beruntun adalah sebuah anomali. Jelas aneh ya. Penduduk usia produktifnya kan besar, tapi sisi permintaan lemah. Ada apa?" kata Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudisthira, kepada Koran Jakarta, Minggu (6/10).
Jadi, Bhima tegaskan deflasi ini bukan klaim kesuksesan dalam mengendalikan inflasi dari sisi pasokan, melainkan tanda masyarakat sedang turun daya belinya. Kelas menengah rentan sulit cari pekerjaan. Sementara kelas menengah atas tahan belanja khawatir situasi ekonomi memburuk. "Jika deflasi berlanjut, berpotensi besar menjadi resesi. Pelaku usaha khususnya industri makanan minuman, tekstil pakaian jadi, alas kaki hingga pelaku usaha properti akan merevisi rencana bisnisnya," ucap Bhima.
Sekarang saja, papar Bhima, Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur tetap di bawah angka 50 atau sedang menurunkan pembelian bahan baku. "Gejolak ini jika tidak dicegah dapat berujung pada resesi ekonomi," tutur Bhima.
Bhima ini menanggapi apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut Jokowi, deflasi maupun inflasi sebaiknya harus sama-sama dikendalikan agar tidak merugikan semua pihak. "Apa pun yang namanya deflasi maupun inflasi itu dua-duanya memang harus dikendalikan sehingga harga stabil, tidak merugikan produsen, bisa petani, bisa nelayan, bisa UMKM, bisa pabrikan, tetapi juga dari sisi konsumen supaya harga juga tidak naik," kata Presiden Jokowi, usai membuka Nusantara TNI Fun Run di IKN, Kalimantan Timur, Minggu (6/10), sebagaimana rekaman suara yang diterima di Jakarta.
Dicek Lagi
Seperti dikutip dari Antara, Presiden Jokowi menanggapi deflasi yang terjadi selama lima bulan berturutturut sebagaimana laporan dari Bada Pusat Statistik (BPS). Kepala Negara pun meminta agar terjadinya deflasi tersebut dicek lebih lanjut lagi, apakah karena penurunan harga barang atau memang daya beli masyarakat yang berkurang.
"Coba dicek betul, deflasi itu karena penurunan harga-harga barang, karena pasokannya baik, karena distribusinya baik, karena transportasi tidak ada hambatan atau karena memang ada daya beli yang berkurang. Pengendalian itu yang diperlukan, keseimbangan itu yang diperlukan," ucap Presiden.
Lebih lanjut, Presiden Jokowi menyinggung mencatat inflasi tahunan (year-on-year/yoy) pada September 2024 sebesar 1,84 persen yang dinilainya sudah baik. " Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati meyakini deflasi yang telah terjadi selama lima bulan beruntun ini bukan sinyal negatif bagi perekonomian. Hal itu karena deflasi disebabkan oleh komponen harga bergejolak (volatile food) yang berkaitan dengan komoditas pangan. Dengan deflasi pangan maka harga bahan makanan di pasar dalam kondisi stabil atau bahkan menurun.
"Deflasi lima bulan terakhir terutama dikontribusikan penurunan harga pangan. Menurut saya, ini suatu perkembangan positif, terutama terhadap daya beli masyarakat," kata Sri Mulyani. Ia mengatakan belanja masyarakat, utamanya kelompok menengah bawah, didominasi oleh belanja makanan.
Artinya, harga pangan di pasar yang menurun justru bisa membantu masyarakat menjangkau bahan-bahan makanan dengan lebih murah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia mengalami deflasi 0,12 persen (month-tomonth/ mtm) pada September 2024. Tren deflasi ini telah berlangsung sejak Mei 2024, dengan rincian deflasi 0,03 persen pada Mei, 0,08 persen pada Juni, 0,18 persen pada Juli, dan 0,03 persen pada Agustus. Adapun inflasi tahunan tercatat sebesar 1,84 persen (year-on-year/ yoy) dan inflasi tahun kalender 0,74 persen (year-to-date/ytd).