>>Peran ekspor manufaktur lemah, neraca perdagangan sulit mencatat surplus.

>>Tahun ini, net ekspor berpeluang memberi kontribusi negatif pada pertumbuhan.

JAKARTA - Pemerintah Indonesia mesti mewaspadai defisit neraca perdagangan dalam tiga bulan terakhir. Sebab, net ekspor yang terus negatif berpotensi mengganggu pertumbuhan ekonomi tahun ini. Padahal, tekanan terhadap ekspor Indonesia juga berpeluang terjadi karena penurunan permintaan dari industri Tiongkok sebagai negara tujuan utama ekspor.

Sebab, perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok bakal menurunkan volume perdagangan dunia, termasuk menekan ekspor Negeri Tirai Bambu ke Negara Paman Sam. Di sisi lain, impor Indonesia bisa meningkat karena Tiongkok mengalihkan pasar ekspor yang tersumbat aksi proteksionisme AS itu ke negara lain, termasuk Indonesia. Penurunan ekspor dan kenaikan impor Indonesia tersebut tentunya makin memperlebar defisit perdagangan.

Pengamat ekonomi Universitas Padjadjaran, Ina Primiana, mengatakan saat ini pun Indonesia selalu menderita defisit perdagangan dengan Tiongkok yang sangat besar. Oleh karena itu, apa pun yang terjadi dengan Tiongkok, Indonesia pasti kalah. Di sisi lain, meskipun neraca dagang Indonesia dengan AS surplus, tetapi negara itu akan memberlakukan tarif impor sehingga bisa mengganggu ekspor Indonesia.

Sementara itu, ekspor komoditas sawit yang menjadi andalan utama Indonesia kini menghadapi berbagai ancaman proteksi di berbagai negara, khususnya Eropa dan Amerika, bahkan negara importir terbesar India. Menurut Ina, kondisi global tersebut makin mempersulit posisi Indonesia.

"Meskipun, pemerintah mengatakan perang dagang tidak terlalu berpengaruh secara signifikan terhadap Indonesia," papar dia, di Jakarta, Senin (26/3). Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, menambahkan pertumbuhan ekonomi tahun ini berpotensi menyusut akibat defisit neraca perdagangan dalam tiga bulan terakhir.

"Defisit perdagangan selama tiga bulan berturut-turut (Desember 2017-Februari 2018) adalah yang pertama kali terjadi sejak 2014. Sebelumnya, kita menikmati surplus," ujar dia. Menurut Faisal, pemerintah harus menganggap persoalan tersebut serius karena salah satu dampaknya adalah kesulitan mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi pada tahun ini.

"Net ekspor yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun lalu, berpotensi memberikan sumbangan negatif pada pertumbuhan ekonomi kuartal pertama tahun ini," ungkap dia. Selain itu, imbuh Faisal, pemerintah tentunya memahami bahwa defisit perdagangan juga akan memperlebar defisit transaksi berjalan.

Hal itulah yang menjadi salah satu faktor pendorong pelemahan nilai tukar rupiah, selain faktor eksternal, seperti kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS atau Federal Reserve.

Perkuat Domestik

Menurut Ina, bayangan kesulitan dalam perdagangan internasional semestinya dijadikan momentum untuk memperkuat pasar dan industri dalam negeri. Pemerintah harus mendorong industri manufaktur meningkatkan kualitas dan kuantitas produk. Negara lain juga menggunakan non tariff measure untuk melindungi produksi dalam negeri.

"Kita juga sudah waktunya melindungi produk dalam negeri. Coba kuasai pasar dalam negeri juga. Jadi, kita sudah waktunya mengembangkan substitusi impor," tukas dia. Sementara itu, Faisal menilai kecil kemungkinan neraca perdagangan menjadi surplus pada beberapa bulan mendatang karena struktur neraca perdagangan rentan defisit akibat dari melemahnya peran ekspor manufaktur.

"Manakala ekspor manufaktur tumbuh lemah sebesar 12 persen dalam setahun terakhir, sejak Maret 2017 hingga Februari 2018, impor justru tumbuh lebih cepat, sebesar 18,7 persen, pada periode yang sama," ungkap dia. Keadaan bertambah parah dalam tiga bulan terakhir, saat perdagangan mengalami defisit, pertumbuhan impor malah mencapai angka 23,7 persen.

Memang, Faisal menjelaskan peningkatan impor sebagian besar, yaitu 75 persen, didorong oleh belanja bahan baku dan bahan penolong. "Memang, ini merupakan indikasi terjadinya peningkatan aktivitas industri manufaktur di dalam negeri. Sayang, ini juga menunjukkan tingginya tingkat kebergantungan industri domestik terhadap bahan baku impor," kata Faisal.

ahm/YK/Ant/WP

Baca Juga: