Kekeringan yang melanda masyarakat di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara saat ini, sesungguhnya bukan sesuatu hal yang baru. Hampir setiap tahun berulang, bahkan saat musim kemarau normal seperti tahun 2017 ini.

Apalagi terjadi saat kemarau panjang akibat pengaruh El Nino seperti tahun 1997, 2002, dan 2015 yang menyebabkan kekeringan meluas. Berapa juta masyarakat yang terkena dampak kekeringan tersebut? Di mana saja mereka bermukim?


Untuk mengupas masalah ini, Koran Jakarta mewawancarai Kepala Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana Indonesia, Sutopo Purwo Nugroho, di Jakarta. Berikut petikannya.


Berapa juta warga yang terdampak kekeringan?


Saat ini lebih dari 3,9 juta jiwa masyarakat yang bermukim 2.726 desa di 715 kecamatan dan 105 kabupaten dan kota di Jawa dan Nusa Tenggara mengalami kekeringan. Sebagian besar mereka mengalami kekeringan setiap tahunnya. Defisit air dan kekeringan bukan hanya terjadi di Indonesia.


Namun, saat ini telah menjadi isu global. Satu dari empat orang di dunia kekurangan air minum dan satu dari tiga orang tidak mendapat sarana sanitasi yang layak.


Menjelang tahun 2025, sekitar 2,7 miliar orang atau sekitar sepertiga populasi dunia akan menghadapi kekurangan air dalam tingkat yang parah.


Prediksi Anda, kapan terjadi krisis air?


Memang sudah sejak awal diprediksikan bahwa pada abad 21 air akan menjadi isu besar dunia dan penyebab timbulnya konflik jika tidak segera diatasi secara menyeluruh. Kondisi krisis air di dunia terus meningkat dalam tiga dekade terakhir.


Sejak memasuki abad 21, krisis air terus berlangsung dengan laju peningkatan yang tidak dapat diperkirakan. Jika pada tahun 1950-an hanya sedikit negara-negara yang menghadapi kekurangan air.


Bagaimana mengantisipasinya?


Perhatian terhadap perlunya peningkatan pengelolaan sumber daya air baik secara internasional maupun nasional telah semakin besar.

Secara internasional telah disepakati prinsip-prinsip dasar pengelolaan terpadu sumber daya air (integrated water resources management) dan secara nasional pemerintah Indonesia telah mengadopsi kebijakan baru pengelolaan sumber daya air.


Jika pada mulanya air adalah masalah yang sederhana, yaitu dari mana air itu datang dan bagaimana memanfaatkannya. Namun sekarang, air menjadi masalah yang jauh lebih rumit.


Bagaimana ketersediaan air di Indonesia?


Secara nasional, ketersediaan air masih mencukupi, bahkan sampai dengan proyeksi tahun 2020 ketersediaan air masih mencukupi untuk pemenuhan seluruh kebutuhan air, seperti untuk kebutuhan rumah tangga, perkotaan, irigasi, industri dan lainnya.


Namun secara per pulau, ketersediaan air yang ada sudah tidak mencukupi seluruh kebutuhan khususnya di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.


Daya dukung lahan telah terlampaui sehingga pengelolaan sumber daya air menjadi lebih rumit. Inilah yang menyebabkan kekeringan selalu berulang setiap tahun. Perlu upaya yang terpadu dan berkelanjutan untuk mengatasi hal ini.

Kekeringan adalah resultan dari permasalahan lingkungan di bagian hulu dan hilirnya. Perlu solusi jangka pendek, menengah, dan panjang.


Untuk upaya jangka pendek?


Upaya jangka pendek saat ini adalah bagaimana memenuhi kebutuhan air saat musim kemarau hingga memasuki musim penghujan nanti. Upaya yang dilakukan pemerintah dan pemda adalah droping air bersih. Setiap tahun, BPBD dibantu relawan, SKPD, PMI, NGO memberikan droping air bersih melalui tangki air.


BNPB memberikan bantuan dana siap pakai bagi BPBD. Pembangunan bak penampungan air, embung, peningkatan pipanisasi dan sumur bor.

Kementerian PU Pera, pemda dan Kementerian ESDM sudah banyak membangun sumur bor, embung, dan bak penampungan air. Bantuan BNPB untuk pembangunan sumur bor, embung, dan bak penampungan air ternyata telah mampu mengurangi dampak kekeringan di berbagai daerah. eko nugroho/AR-3

Baca Juga: