JAKARTA-Pengamat Kebijakan Publik, Fernando Emas menyoroti peningkatan impor baja yang merupakan bahan baku. Meningkatnya impor baja sebagai bentuk produsen domestik tak mampu menyediakan baja untuk kebutuhan dalam negeri.

Ia menerangkan, baja merupakan bahan baku berbagai produk konsumsi, baik yang berada dalam lingkup produk turunan baja itu sendiri, maupun produk-produk lain yang lebih kompleks seperti otomotif, elektronika, hingga kemasan makanan.

Di tengah fenomena kenaikan impor baja yang terjadi pada paruh pertama tahun 2021, neraca perdagangan besi dan baja nasional justru mengalami surplus sebesar 2,7 miliar dollar AS. Hal ini mengindikasikan bahwa impor dilakukan untuk menciptakan nilai tambah produk besi dan baja, sela Fernando.

"Ini bentuk kegagalan produsen kita termasuk KS yang tidak mampu menyediakan bahan baku baja di dalam negeri, walaupun investasi yang ditanam di BUMN ini sudah triliunan rupiah," tegasnya di Jakarta, Sabtu (18/9)

Ia menerangkan, Meratus Jaya Iron and Steel, anak perusahaan KS yang ada di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan yang sudah menyerap dana negara 2 triliun rupiah lebih dari target 3,9 triliun rupiah seharusnya bisa menutup defisit impor baja nasional. Jika terealisasi pabrik tersebut dapat menghasilkan slab, billet, dan bloom dari pengolahan biji besi.

Saat ini impor slab, billet, dan bloom nasional mencapai 3 juta ton yang diimpor oleh KS dan Anggota ISIA lainnya dengan nilai miliaran dollar per tahunnya. Slab, billet, dan bloom merupakan bahan baku utama industri baja dan semuanya belum dapat diproduksi di dalam negeri.

"Negara mengandalkan BUMN tetapi tidak dapat terwujud,"tukas Fernando.

Lebih jauh lanjut dia, KS tidak mampu menghasilkan produk-produk baja engineering steel yang dibutuhkan sebagai bahan baku produk-produk bernilai tambah tinggi seperti otomotif, permesinan, pertahanan, penerbangan, pengeboran minyak dan peralatan-peralatan khusus. Industri-industri tersebut tidak akan berkembang secara maksimal selama bahan baku bajanya tidak dapat dipasok dari dalam negeri.

Alih-alih berusaha untuk melakukan diversifikasi produk, KS justru melakukan ekspansi ke sektor konstruksi yang merupakan sektor hilir. Hal ini dikhawatirkan akan menciptakan iklim usaha yang tidak sehat pada sektor hilir, mengingat saat ini sektor tersebut banyak diisi oleh industri berskala kecil-menengah (IKM).

Direktur Eksekutif RODA institute Ahmad Rijal Ilyas, melihat tata niaga baja yang dilakukan pemerintah sebetulnya sudah cukup bagus dan mempertimbangkan supply-demand baja dalam bentuk Hot Rolled Coil (HRC), Cold Rolled Coil (CRC), Coated Steel/Baja Lapis dan turunan baja lainnya dengan memperhatikan kebutuhan baja nasional.

"Jika KS mampu memasok kebutuhan produk-produk tersebut secara keseluruhan diyakini impor nasional akan berkurang baik dari sisi volume maupun jenis produk baja yang bermacam-macam untuk kebutuhan industri,"tutur dia.

Ketua Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT. Krakatau Steel (KS), Silmy Karim sebelumnya

malaporkan peningkatan impor baja sebesar 66 persen yang terjadi pada Januari-Agustus 2021 dibanding periode yang sama tahun 2020.

Impor baja yang berasal dari Tiongkok terindikasi dumping dan pengalihan pos tarif (circumvention). Ia menerangkan impor tersebut banyak menggunakan unsur Boron sebagai unsur paduan yang digunakan untuk mengubah pos tarif HRC Carbon dengan HS Code 7208 ke HRC Alloy dengan HS Code 7225.

Baca Juga: