JAKARTA - Langkah pemerintah untuk merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan Perdagangan dan Impor dinilai sudah tepat dalam rangka melindungi produk industri dalam negeri, terutama dampaknya pada ketenagakerjaan.

Dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (27/6), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Kementerian Keuangan bersama Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan sedang menyiapkan aturan untuk melindungi industri tekstil, termasuk mengenai pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP).

"Untuk produk tekstil, garmen, alas kaki, elektronik, keramik, dan tas, kami dari Kementerian Keuangan menunggu surat dari Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian. Mereka suratnya diatur dalam peraturan perundang-undangan, baik peraturan pemerintah (PP) maupun undang-undang (UU)," kata Menkeu.

Menanggapi hal itu, pengurus Kadin Daerah Istimewa Yogyakarta, Timothy Aprianto, menyatakan bahwa kebijakan untuk menahan produk tekstil luar hanya semacam kebijakan pemadam kebakaran. Langkah itu penting, tetapi belum menyentuh masalah fundamental yakni terus melemahnya daya saing industri padat karya di Tanah Air.

"Rupiah yang stabil, itu justru lebih fundamental. Melemahnya rupiah jadi pukulan daya saing karena industri ekspor mengalami inefisiensi. Impor barang mentah mereka otomatis lebih mahal," jelas Timothy.

Begitu pula biaya logistik yang meningkat turut menambah beban industri. Di Laut Merah, misalnya, biaya logistik naik empat kali lipat.

Menurut Timothy, solusi jangka panjang diperlukan untuk menyelamatkan industri dalam negeri adalah efisiensi di sektor swasta, efisiensi di pemerintah, kinerja ekonomi, dan infrastruktur.

Dia mencontohkan mengenai birokrasi yang menghambat investasi. "Perusahaan tekstil di Jogja harus mengeluarkan biaya lebih dari satu miliar rupiah untuk izin satu perusahaan tanpa ada kepastian waktu.

"Satu tahun, dua tahun, nggak jelas kapan jadinya dan tidak ada kepastian," katanya.

Ia pun memperingatkan, jika tidak ada langkah yang tepat, ancaman inflasi dan peningkatan harga BBM akan memperparah kondisi industri.

"Kalau kurs rupiah melewati 17 ribu rupiah per dollar AS dan BBM naik, seluruh rantai biaya energi akan meningkat dan jadi pukulan sangat berat, sehingga susah untuk menolong industri padat karya lagi," jelasnya.

Produk Anak Bangsa

Diminta terpisah, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan peraturan terkait dengan BMAD yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan. Bahkan, dalam PP tersebut juga dimandatkan adanya Komite Antidumping Indonesia (KADI).

"Apakah ini sudah dilaksanakan atau belum? Kalau ini mau disesuikan dengan kondisi saat ini dan di masa mendatang, sah-sah saja, yang terpenting pemerintah tidak lupa kalau sudah menerbitkan peraturan tentang BMAD," kata Badiul.

Langkah pemerintah saat ini, katanya, menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah dalam memberikan perlindungan pada industri tekstil dalam negeri. Setelah digempur produk impor tekstil dari Tiongkok, baru memberi reaksi.

Berdasarkan data BPS, sektor industri pengolahan merupakan penopang perekonomian nasional, di dalamnya termasuk industri tekstil dan pakaian jadi, bahkan pada triwulan pertama 2024 mengalami kenaikan 2,46 persen secara tahunan atau year on year (yoy).

Sebab itu, pemerintah seharusnya lebih berpihak dengan produk-produk anak bangsa, dengan meningkatkan komitmen belanja pemerintah diarahkan pada penggunaan produk-produk lokal.

Sementara itu, peneliti ekonomi Celios, Nailul Huda, mengatakan impor harus dibatasi. Jika tidak dibatasi, tinggal menunggu waktu saja industri bakal gulung tikar.

"Langkah yang bagus jika ingin menetapkan BMAD, respons cepat sangat diperlukan sebelum masalah lebih besar datang," katanya.

Selain pengenaan BMAD, dia juga minta pemerintah memperkuat kajian untuk pengenaan dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). "Ini agar jelas dasar pengenaannya yang bermanfaat bagi industri dalam negeri. Jadi, tidak ada lagi aturan yang kurang sinkron seperti Permendag 8/2024," katanya.

Pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan sudah seharusnya pemerintah menetapkan kebijakan tersebut, apalagi saat kondisi rupiah seperti saat ini. "Pemerintah dan BI harus menjaga kecukupan devisa, terutama saat ekspor Indonesia tidak terlalu kuat," katanya.

Baca Juga: