JAKARTA - Indonesia tidak akan mampu mengejar target pertumbuhan ekonomi 7 persen dalam waktu dekat sebagai persyaratan untuk menjadi negara berpendapatan tinggi saat masuk usia emas di 2045. Sulitnya mencapai pertumbuhan 7 persen itu sangat beralasan karena selama ini untuk tumbuh 5 persen saja sudah susah payah, apalagi lebih dari itu.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, dalam diskusi bertajuk Presiden Baru, Persoalan Lama yang digelar Indef di Jakarta, Selasa (25/6), mengatakan sulitnya mendongkrak pertumbuhan itu karena kondisi ekonomi dalam negeri yang sangat rapuh. Dia kurang sepakat jika berbagai persoalan ekonomi yang terjadi selama ini disebabkan dampak dari tekanan ekonomi global.

"Benar nggak masalahnya dari luar? Tampaknya, sumbernya dari kita sendiri. Faktanya, pernah the Fed menurunkan tingkat suku bunganya, tetapi pertumbuhan ekonomi kita begitu-begitu saja," papar Eko.

Dia menyoroti konsumsi rumah tangga yang terus melemah. Padahal, kontribusi konsumsi rumah tangga dalam pertumbuhan ekonomi dominan yaitu 41,28 persen pada triwulan I-2024, namun sangat rentan. Kinerja ekonomi di triwulan I-2024 diselamatkan oleh akselerasi pengeluaran pemerintah.

"Pengeluaran konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) malah tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi yaitu hanya tumbuh 4,9 persen. Konsumsi diyakini semakin melemah seiring dengan rencana pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen pada tahun 2025. Meskipun baru diterapkan tahun depan, tetapi dampaknya sudah mulai terasa sejak sekarang," katanya.

Kondisi yang sama pula dialami sektor manufaktur. Perlambatan di sektor industri manufaktur semakin terlihat memasuki triwulan II-2024, ditandai dengan maraknya penutupan pabrik hingga penurunan penerimaan. Pertumbuhan industri akhir akhir ini selalu di bawah pertumbuhan ekonomi.

"Jika gejolak penutupan pabrik-pabrik di sektor industri manufaktur terus berlanjut dan daya beli masyarakat tidak ada perbaikan, ditambah kinerja ekspor terus menurun, maka pertumbuhan ekonomi bisa meleset dari target APBN," kata Eko.

Stagnasi Penjualan

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W Kamdani, mengakui kalau sektor riil juga mengindikasikan pelemahan daya beli masyarakat dan pasar domestik.

"Dari survei roadmap perekonomian Apindo 2024-2029, ada 72 persen yang menjawab terjadinya stagnasi penjualan dan 44,5 persen menegaskan tak akan melakukan ekspansi usaha dalam lima tahun ke depan," urai Shinta.

Ekonomi Indonesia, jelasnya, tergolong high cost dan kurang kompetitif di kawasan. RI merupakan negara dengan biaya energi, biaya logistik, biaya tenaga kerja, dan biaya pinjaman termahal di antara lima negara Asia Tenggara (Asean).

"Dampak high cost ekonomi itu adalah stagnasinya pertumbuhan dan produktivitas manufaktur serta ekspor," tegasnya.

Kondisi tersebut diperparah dengan dinamika ekonomi global yang semakin membebani produktivitas dan daya saing ekonomi RI. "Pelaku usaha inginnya nilai tukar itu di angka 14.000, kondisi sekarang tentu di luar harapan kami," paparnya.

Baca Juga: