Transisi energi yang lebih ambisius membutuhkan lebih banyak logam dan mineral untuk membangun teknologi energi bersih.

Serasu Duran, University of Calgary; Atalay Atasu, INSEAD, dan Clara Carrera, INSEAD

Apakah persamaan perak, silikon, dan galium? Bahan baku yang mahal ini adalah komponen penting untuk beragam teknologi energi surya.

Bagaimana dengan neodimium, praseodimium, dan diprosium? Ketiganya adalah mineral tanah jarang yang digunakan untuk membuat magnet super dalam turbin angin.

Usaha menjaga kesehatan bumi membutuhkan peralihan energi terbarukan secara cepat oleh pemerintah. Emisi karbon global harus dipangkas hingga separuh pada 2030 dan mencapai kondisi bebas emisi (net zero) pada 2050.

Namun, transisi yang lebih ambisius membutuhkan lebih banyak logam dan mineral untuk membangun teknologi energi bersih. Seiring bergesernya sektor energi global dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan, permintaan logam yang berharga-kerap disebut mineral kritis (critical minerals)- terus naik.

Salah satu contohnya adalah litium, logam yang digunakan dalam baterai kendaraan listrik. Selama 2018-2022, permintaan litium naik 25% saban tahun. Dalam skenario net zero, permintaan litium pada 2040 akan melonjak 40 kali lipat dari tahun 2020.

Permintaan dan penawaran

Dunia saat ini menghadapi tantangan pasokan dan kebutuhan yang tidak seimbang. Permintaan mineral kritis diperkirakan melebihi pasokan yang ada. Akhirnya, prinsip dasar ekonomi membuat harga mineral jenis ini lebih tinggi.

Tantangan lainnya, pasokan mineral kritis tidak merata di seluruh dunia. Pasokan logam ini hanya dikeruk dari beberapa negara saja. Sebagian besar pun diolah di Cina.

Cina, misalnya, mengeruk 60% dan mengolah 90% bahan mineral atau logam tanah jarang global. Bandingkan dengan salah satu produsen utama minyak bumi-Amerika Serikat-yang hanya menguasai 18% penyedotan dan 20% pengolahan di seluruh industri minyak global.

Pasokan yang terkonsentrasi ini membuat hambatan tambahan bagi pasokan mineral tanah jarang. Indonesia sebagai produsen nikel terbesar, misalnya, melarang ekspor bijih nikel untuk memperkuat industri pengolahan di dalam negeri.

Sempitnya keberagaman geografis dalam pasokan ini membuat harga rentan naik-turun. Harga litium, misalnya, naik lebih dari 400% pada 2022 sebelum anjlok 65% pada 2023. Harga tembaga di Peru juga sempat melambung akibat masalah sosial dan blokade pertambangan.

Cina, yang mengontrol 98% pasokan galium, menciptakan kenaikan harga 40% pada 2023 dengan kebijakan pembatasan ketat ekspor karena "alasan keamanan nasional."

Jika hambatan ini terus berlanjut, harga mineral kritis akan menjadi terlalu tinggi. Walhasil penggunaan energi bersih menjadi sangat mahal. Pemerintah-pemerintah pun semakin kelimpungan mencapai target energi bersih mereka.

Kita harus menyeimbangkan permintaan dan penawaran dengan salah satu dari dua cara: mengurangi kebutuhan mineral kritis atau menaikkan suplainya.

Mengembalikan keseimbangan

Cara paling jelas untuk memulihkan keseimbangan, yaitu dengan lebih banyak menambang, juga cukup rumit. Pertambangan menghancurkan lingkungan dan merusak ekosistem maupun masyarakat di dalamnya. Rencana untuk membuka tambang baru di Prancis, Serbia dan Portugal juga menghadapi banyak penolakan sehingga masa depannya masih belum pasti.

Pembukaan tambang baru juga memakan waktu rata-rata melebihi 15 tahun, jadi proyek yang dimulai hari ini kemungkinan akan terlambat.

Meskipun kapasitas penambangan mungkin bisa ditambah lebih cepat dengan membuka kembali tambang-tambang lama, dan beberapa proyek sedang dalam perjalanan, ketimpangan pasokan bakal tetap terjadi pada 2030.

Selain pertambangan, ada dua pendekatan praktis yang bisa dilakukan. Pertama adalah pengurangan permintaan mineral kritis dengan teknologi energi terbarukan. Dengan inovasi, penelitian dan pengembangan, produk energi bersih dapat didesain ulang untuk menyerap lebih sedikit bahan baku di setiap generasinya.

Sebagai contoh, komponen perak dalam sel surya turun 80% dalam waktu 10 tahun. Begitu juga katoda dalam baterai kendaraan listrik baru yang berisikan kobalt enam kali lipat lebih sedikit dibandingkan sel surya model lama.

Alternatif kedua adalah peningkatan pasokan mineral kritis dengan mengambilnya dari produk teknologi bekas dan lama dengan proses daur ulang canggih. Panel surya yang sudah pensiun mungkin tak bisa menghasilkan energi lagi. Alat ini masih bisa menjadi sumber perak ataupun silikon yang berharga.

Penelitian kami sebelumnya menunjukkan bahwa jumlah solar panel yang terbuang dapat melampaui panel baru pada satu dekade mendatang. Pasalnya, para pemasang cenderung mengganti panel lama dengan panel baru yang lebih efisien.

Dengan mengambil mineral kritis dari limbah ini, dengan proses yang acap disebut "urban mining", kita bisa menutupi permintaan material untuk pemasangan sumber energi terbarukan pada masa depan.

Daur ulang adalah langkah maju

Penelitian terbaru kami bersama rekan, Luk Van Wassenhove, membandingkan konsekuensi ekonomi dari dua pendekatan alternatif di atas.

Jika kelangkaan mineral kritis tidak ekstrem, pengurangan konten mineral kritis dalam produk energi bersih lebih mungkin dilakukan.

Walau begitu, ada konsekuensi tak diinginkan yang bisa saja terjadi seperti rebound effect (efek memantul) atau paradoks Jevon. Penggunaan mineral kritis yang semakin efisien justru akan jauh meningkatkan angka pemakaiannya.

Apabila produk energi bersih menggunakan lebih sedikit material kritis, peningkatan keuntungan akan membuat jumlah produksinya jauh bertambah. Akibatnya, pengurangan pemakaian material per produk tidak akan berperan banyak untuk memangkas permintaan material kritis.

Sebaliknya, penelitian kami menemukan usaha daur ulang produk purnapakai tidak akan mengalami efek memantul tersebut. Pasokan material daur ulang dari produk ini akan melindungi produsen dari naik-turun harga komoditas sekaligus memfasilitasi transisi energi lebih baik lagi.

Usaha menciptakan ekosistem daur ulang membutuhkan usaha lebih besar dibandingkan perubahan desain produk. Produsen akan membutuhkan sistem logistik terbalik yang hemat biaya, pabrik daur ulang, dan infrastruktur untuk mendapatkan kembali produk akhir yang cukup lalu memprosesnya.

Investasi awal yang besar juga akan membutuhkan waktu untuk balik modal, sehingga memaksa perusahaan dan pembuat kebijakan untuk mengadopsi pola pikir jangka panjang.

Namun, masih ada ruang untuk optimisme. Perusahaan rintisan ROSI Solar membuka pabrik daur ulang pertamanya tahun ini. Langkah ROSI menjadikan Prancis sebagai pionir dalam mengekstrak silikon, perak, dan tembaga dengan kemurnian tinggi dari panel surya yang purnapakai.

Demikian pula dengan SOLARCYCLE yang berbasis di AS dapat mendaur ulang 95% material berharga dalam panel surya. Banyak pembuat kendaraan listrik, seperti Tesla, Renault, dan Nissan, memulai proyek daur ulang baterai dan memastikan pasokan kobalt, nikel, dan litium tanpa risiko. Daur ulang memang bisa menjadi jalan menuju energi bersih yang terjangkau.The Conversation

Serasu Duran, Assistant Professor, Operations and Supply Chain Management at Haskayne School of Business, University of Calgary; Atalay Atasu, Professor of Technology and Operations Management, INSEAD, dan Clara Carrera, PhD Candidate in Technology and Operations Management, INSEAD

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Baca Juga: