Sengkarut data neraca kebutuhan pangan antara Kementan dan Bapanas mengundang tanya besar, mengingat data itu sangat penting sebagai basis pijakan keputusan impor atau tidaknya.

JAKARTA - DPR RI menyayangkan perbedaan data neraca pangan antara Kementerian Pertanian (Kementan) dengan Badan Pangan Nasional (Bapanas). Ketidakjelasan data ini membuat pemerintah memutuskan impor beras dua juta ton pada 2023.

Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo, menilai keputusan pemerintah dalam mengimpor sejumlah pangan pokok tidak tepat. Hal itu kurang sejalan dengan semangat Undang-Undang (UU) 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang mengedepankan kemampuan peningkatan produksi dan pengadaan cadangan pangan dari dalam negeri.

"Sebelumnya kita ini tidak impor dan aman saja, kenapa sekarang saat mendekati pemilu baru mulai gembar-gembor membuka keran impornya?" sebut Firman dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Kementan di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (4/4) dikutip dari laman resmi DPR RI.

Dia juga mempertanyakan tentang data neraca kebutuhan pangan yang berbeda antara Kementan dan Bapanas. Padahal data itu sangat penting sebagai basis pijakan keputusan mengimpor atau tidak mengimpor. Dalam konteks beras, pemerintah memutuskan mengimpor beras. Padahal, produksi diperkirakan masih surplus cukup besar.

"Penduduk Indonesia diperkirakan akan bertambah banyak pada 2030. Kebutuhan pangan pokok kita terus meningkat apakah dari litbang dari pertanian pernah melakukan riset-riset subsitusi pangan," tanya Firman.

Seperti diketahui, cadangan pangan pemerintah berupa 11 pangan pokok mulai terisi. Namun, sebagian cadangan pangan itu masih bersumber dari impor. Ke depan, pemerintah diharapkan bisa lepas dari ketergantungan impor.

Kesebelas cadangan pangan pemerintah (CPP) itu adalah beras, jagung, kedelai, bawang, cabai, daging unggas, telur unggas, daging ruminansia, gula konsumsi, minyak goreng, dan ikan. Cadangan beras, misalnya, sudah terisi 245.370 ton per 31 Maret 2023. Begitu juga dengan kedelai yang sebanyak 775,77 ton, gula pasir 223.573,05 ton, serta daging sapi dan kerbau yang masing-masing 8.095,89 ton dan 241,03 ton.

Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan, juga menolak kebijakan impor yang akan dilakukan Bapanas untuk memenuhi ketersediaan pangan nasional. Penolakan ini terjadi karena menurutnya saat ini tidak ada yang valid lantaran data yang dimiliki pengelola pangan saat ini masih berbeda. Untuk itu, menurutnya kebijakan ini kebijakan salah kaprah.

Bentuk Tim Panja

Dia pun mengusulkan untuk membentuk Tim Panja (panitia kerja) atau mengadakan Focus Group Discussion (FGD) terkait dengan data yang akan dijadikan acuan oleh pengelola pangan. "Soal-soal data ini Pak Ketua biar clear. Data mana yang kita jadikan acuan? Kalau betul kita tidak percaya kepada BPS, lantas data apalagi yang perlu kita pakai yang perlu kita percaya?" jelasnya.

Sementara itu, Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi, mengaku telah mengantongi rekomendasi teknis (rekomtek) dan izin impor beras untuk pengadaan cadangan beras pemerintah sebesar dua juta ton hingga akhir Desember 2023. "Rekomtek sudah diterima, izin impor sudah ada," ujarnya.

Meski demikian, jelasnya, izin tersebut akan diatur sebijak mungkin agar harga beras di pasar tak melonjak naik. Pemerintah, tegasnya, tetap mengutamakan produksi beras dalam negeri.

Bapanas menugaskan Perum Bulog untuk kembali melakukan impor beras sebanyak dua juta ton sampai dengan akhir Desember 2023. Bapanas meminta agar pengadaan impor sebanyak 500 ribu ton pertama direalisasikan secepatnya.

Baca Juga: