JAKARTA - Dasar pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas perlu diperjelas karena dinilai belum clear. Harapan ini datang dari Kepala Bidang Advokasi Guru, Iman Zanatul Haeri, dalam diskusi daring yang membahas PTM terbatas, di Jakarta, Minggu (3/10).

Dia memberi contoh, pemerintah mengeklaim terjadi angka putus sekolah. Namun, berdasarkan data statistik Kemendikbudristek, tidak demikian, bertolak belakang. Menurutnya, untuk jenjang SD memang betul pada tahun 2019-2020 banyak siswa mengalami putus sekolah. Angkanya mencapai 59.443 siswa.

Namun kalau dilihat keseluruhan, angka tertinggi putus sekolah adanya di tahun 2018-2019 yang mencapai 301.127 siswa. Iman menambahkan, untuk tahun 2020-2021 angka putus sekolah malah terbilang sedikit. Jumlahnya "hanya" 4.916 siswa.

"Dengan demikian, klaim pemerintah bahwa pandemi ini terjadi putus sekolah tertinggi, terbantahkan. Artinya angka tadi menggambarkan bahwa sesungguhnya tidak terjadi angka putus sekolah yang signifikan selama pandemi," jelasnya.

Iman menilai, menjadikan learning loss sebagai dampak dari pembelajaran jarak jauh (PJJ) juga tidak tepat. Menurutnya, hal tersebut terjadi karena pemerintah gagal menyusun sistem pembelajaran selama pandemi Covid-19.

Dia menerangkan, learning loss seharusnya bisa diminalkan jika PJJ diadakan secara sistematis dan terstandar. "Tapi, pada kenyataannya selama dua tahun berlangsung PJJ masih menjadi beban," tandasnya. Inovasi juga tidak terjadi secara signifikan. Selain itu, juga tidak terstandar dan efektif. Maka, dia usul agar PJJ sungguh dimaksimalkan.

Positivity Rate
Sementara itu, relawan LaporCovid-19, Natasha Devanand Dhanwani, menyebut bahwa awal pelaksanaan PTM terbatas belum sesuai dengan syarat Badan Kesehatan Dunia (WHO). Sejauh ini, WHO menyaratkan positivity rate (PR) untuk membuka sekolah pada angka 5 persen. Sedangkan pada 30 Agustus 2021, angka PR Indonesia masih 6,96 persen.

Dia menuturkan, angka 6,96 persen di dalamnya masih memasukkan hasil tes antigen. Padahal antigen tidak direkomendasikan dalam penghitungan PR karena sensitifitasnya rendah. "Jika murni menggunakan data PCR dan tes cepat molekuler, menunjukkan angka 16.96 persen," katanya.

Baca Juga: