Jakarta - Pemerintah menilai saat ini menjadi momen tepat untuk melakukan redenominasi atau penyederhanaan mata uang rupiah. Sebab, inflasi yang menjadi salah satu faktor pendukung utama redenominasi, cenderung stabil. "Sekarang momen yang bagus. Dulu sebenarnya inflasi sudah agak terkendali, tapi masih agak tinggi," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (19/7).

Dia menyatakan indikator ekonomi yang paling penting terkait redenominasi adalah inflasi yang terjaga dengan baik. Seperti diketahui, tingkat inflasi pada 2016 mencapai 3,02 persen, atau menurun dibandingkan tingkat inflasi 2015 sebesar 3,35 persen. Sementara asumsi inflasi disepakati 4,3 persen dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017.

Kemudian, asumsi dasar ekonomi makro yang akan menjadi dasar RA PBN 2018 menproyeksikan laju inflasi 2,5 persen-4,5 persen. Darmin juga menjelaskan seharusnya tidak ada masalah apa-apa mengenai redenominasi. "Itu merupakan sesuatu yang sudah disiapkan dan dibicarakan empat tahun atau lima tahun yang lalu," ucap dia.

Redenominasi rupiah merupakan penyederhanaan pecahan mata uang rupiah menjadi pecahan yang lebih sedikit, tanpa mengurangi nilainya. Misalnya, 13.000 rupiah, setelah diredenominasi akan menjadi 13 rupiah. Redenominasi juga akan diiringi dengan penyederhanaan jumlah digit pada harga barang dan jasa, sehingga tidak menekan daya beli masyarakat.

Pengalaman India

Sementara itu, kalangan pelaku industri perbankan mendukung rencana implementasi redenominasi rupiah mulai tahun ini. Meski demikian, penerapannya diharapakan tak terburu-buru karena ada negara yang gagal memberlakukannya.

"Karena di India pernah redenominasi. Itu dampaknya cukup signifikan, tapi jadinya malah pada kaget, maka itu perlu transisi," kata Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Nasional, Kartika Wirjoatmodjo.

Ant/E-10

Baca Juga: