Malaria masih menjadi ancaman bagi manusia dari dulu hingga sekarang. Hasil penelitian dengan mengekstraksi DNA parasit dari gigi dan tulang yang terawetkan di alam, mengungkap bagaimana malaria menyebar ke seluruh dunia.

Malaria masih menjadi ancaman bagi manusia dari dulu hingga sekarang. Hasil penelitian dengan mengekstraksi DNA parasit dari gigi dan tulang yang terawetkan di alam, mengungkap bagaimana malaria menyebar ke seluruh dunia.

Para peneliti melakukan studi DNA dari tulang dan gigi kerangka manusia dari pegunungan Himalaya. Kerangka ini dari seorang laki-laki diperkirakan meninggal karena penyakit malaria sekitar 2.800 tahun yang lalu di dataran tinggi yang suhu udaranya sangat dingin itu.

Lokasi tempat jasadnya ditemukan terletak 2.773 meter atas permukaan laut dan berada di lingkungan berbatu dan kering. Kondisi ini dinilai terlalu dingin untuk hidup nyamuk Anopheles yang menyebarkan penyakit tersebut.

"Itu adalah tempat terakhir di Bumi yang saya perkirakan akan menemukan infeksi malaria," kata Megan Michel, seorang ahli biologi evolusi di Universitas Harvard dan Institut Max Planck untuk Geoantropologi di Jerman mengatakan kepada Harvard Gazette.

Temuan ini terungkap sebagai bagian dari studi baru yang dipimpin oleh Michel dan diterbitkan pada Rabu (12 Juni) di jurnal Nature yang mengungkap sejarah malaria. Penyakit yang disebabkan oleh parasit ini sangat umum saat ini dan setiap tahunnya menginfeksi 250 juta orang dan membunuh 600.000 orang.

Penyakit ini menjadi sangat terkait dengan perkembangan genom atau keseluruhan deoxyribonucleic acid (DNA) yang ada dalam suatu sel, berisi seluruh sekuens DNA secara utuh manusia. Namun, penyakit seperti malaria biasanya tidak meninggalkan jejak fisik pada sisa-sisa purba sehingga sulit dideteksi.

"Malaria tidak terlihat secara arkeologis," kata rekan penulis studi Christina Warinner, seorang arkeogenetika di Universitas Harvard, kepada laman Science.

Namun dengan teknik baru untuk menganalisis sampel genetik, para peneliti berhasil menemukan fragmen DNA parasit yang sangat kecil yang telah terdapat di tulang dan gigi korban malaria. Bukan hanya di pegunungan Himalaya saja, tim juga telah menemukan jasad 36 orang yang telah terinfeksi malaria di 26 situs arkeologi di lima benua.

Sebelumnya, bukti fisik tertua dari penyakit ini berasal dari sampel darah yang dikumpulkan di Delta Ebro Spanyol pada 1944. Penelitian terbaru ini secara dramatis mendorong waktu lebih lama hingga 5.600 tahun yang lalu ketika temuan kerangka tertua di Jerman dengan derita malaria terdeteksi. Hingga saat ini, satu-satunya sumber informasi tentang sejarah malaria sebelum abad ke-20 berasal dari catatan tertulis.

"Sebelumnya sudah ada deskripsi dalam teks Yunani dan Romawi yang menunjukkan keberadaan malaria," kata Michel kepada Harvard Gazette. "Namun, kami dapat menelusuri lebih jauh lagi untuk menunjukkan bahwa malaria telah ada di Eropa sejak lama sekali," imbuh dia dikutip dari laman Smithsonian.Mag.

Sisa-sisa kerangka manusia Nepal ditemukan di Lembah Kali Gandaki, dekat rute perdagangan kuno yang melintasi Himalaya. Situs arkeologi tersebut juga ditemukan benda-benda tembaga yang diproduksi di dataran rendah India, tempat nyamuk dan malaria biasa ditemukan.

Para peneliti menyimpulkan bahwa pria tersebut terinfeksi saat bepergian lalu ia kembali ke rumah asalnya dan meninggal dalam perjalanan. "Dengan kumpulan data yang sangat besar ini, kita dapat memperkecil tampilan dan melihat sejarah evolusi yang panjang serta juga memperbesar tampilan dan mempelajari nasib satu individu," kata Alexander Herbig , rekan penulis studi yang juga seorang ahli genomik patogen di Institut Max Planck untuk Antropologi Evolusi di Jerman, kepada Science.

Evolusi

Menghubungkan kisah-kisah individu tersebut dengan sejarah evolusi malaria yang panjang menghasilkan beberapa temuan penting. Sampel yang mengandung genom Plasmodium vivax, parasit penyebab malaria, terdeteksi di seluruh Eropa sepanjang rentang sejarah yang panjang, dari Zaman Batu hingga abad ke-18, yang menunjukkan bahwa pada era prasejarah, sehingga malaria bukan sekadar penyakit tropis.

Temuan tersebut juga mendukung gagasan bahwa malaria dibawa ke Amerika melalui penjajahan Eropa, bukan melalui kedatangan bangsa Polinesia sekitar 15.000 tahun yang lalu. Sampel malaria tertua dari Amerika ditemukan pada kerangka orang Peru yang tinggal di dataran tinggi di Pegunungan Andes sekitar 500 tahun yang lalu dan secara genetik sampel tersebut cocok dengan galur Plasmodium vivax yang umum di Eropa pada saat itu.

Namun, galur malaria Amerika yang lebih baru sangat mirip dengan versi yang beredar di Afrika sub-Sahara yaitu Plasmodium falciparum. Hal ini menunjukkan bahwa parasit ini dibawa melintasi Atlantik bersama orang-orang yang diperbudak.

"Secara keseluruhan, hasil tersebut menunjukkan bahwa pergerakan, bukan stasis, adalah kekuatan pendorong yang mendasari penyebaran malaria," ucap Nathaniel Comfort yang mempelajari sejarah kedokteran di Universitas Johns Hopkins dan tidak berafiliasi dengan penelitian tersebut kepada NPR.

Kesimpulan ini tidak definitif. Ada kemungkinan strain yang lebih tua tiba di Amerika sebelum orang Eropa tiba, tetapi strain tersebut punah dan tidak tertangkap dalam data baru, menurut Science. Atau, karena penelitian tersebut membandingkan sampel kuno dengan strain malaria modern, metode tersebut dapat melewatkan versi parasit yang lebih tua dan berbeda secara genetik.

Meskipun demikian, teknik yang digunakan dalam penelitian ini menjanjikan untuk terus menggunakan DNA guna merekonstruksi sejarah malaria dan patogen lainnya. "Hal itu bahkan dapat mengarah pada pengobatan baru," ucap Keren Landsman, seorang peneliti kesehatan masyarakat di Universitas Augsburg di Jerman yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut kepada Live Science.

"Kita sejauh ini dapat menggunakan data ini untuk memahami bukan hanya patologinya tetapi juga jalur evolusi malaria dan mungkin bahkan cara baru untuk mengalahkannya.Lagipula, malaria adalah salah satu pembunuh terbesar di zaman kita," pungkas dia. hay/I-1

Baca Juga: