Pengelolaan dan penggunaan dana haji saat ini menjadi kontroversi di tengah masyarakat yang dipicu usulan Presiden Joko Widodo agar dana haji bisa diinvestasikan ke instrumen yang tidak memiliki risiko tinggi, aman, dan memberikan keuntungan besar, seperti di bidang infrastruktur.

Bagaimana reaksi dan tanggapan DPR? Untuk mengupas permasalahan pengelolaan dana haji tersebut, Koran Jakarta mewawancarai Ketua Komisi VIII DPR, Ali Taher Parasong, di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, kemarin. Berikut Petikannya.


Bagaimana kajian alokasi dana haji?


Perlu saya jelaskan terlebih dahulu dari perspektif DPR yang memiliki tiga fungsi kerja pokok, yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan untuk mengetahui alasan mengapa pemerintah memiliki rencana program terkait pengelolaan dana haji tersebut.

Menurut kami, berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Badan Pengelolaan Keuangan Haji, di sana sudah tegas dan jelas mengatakan bahwa penggunaan dana haji ada beberapa unsur penting yang harus kita perhatikan.


Pertama asasnya. Asasnya ada di Pasal 2 yang menyebutkan prinsip pengelolaan dana haji itu adalah berasaskan syariah, yang kedua prinsip kehati-hatian, yang ketiga manfaat, yang keempat nirlaba, yang kelima transparan, dan yang keenam adalah akuntabel.


Lalu, jika dilihat dari tujuan penggunaan?


Kemudian dalam Pasal 3 disebutkan, pengelolaan keuangan haji bertujuan tiga hal, pertama peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, itu pokok. Kemudian, yang kedua rasionalitas dan efisiensi penggunaan BPIH, dan ketiga adalah manfaat bagi kepentingan umat Islam.

Dalam perspektif itu maka aspek legalitasnya sudah jelas bahwa ini ada hanya diperuntukkan bagi jemaah haji dan juga kepentingan umat Islam.


Soal asas transpran dan akuntabel, bisa dijelaskan?


Mari kita lihat di Pasal 26 karena ini bicara undang-undang, untuk melaksanakan tugas dan fungsi BPIH maka mengelola keuangan haji secara transparan dan akuntabel untuk sebesar-besarnya kepentingan jemaah haji, kepentingan umat Islam.


Mengenai bidang investasi dana haji tersebut?


Nah, kemudian Pasal 48, ini pesan saya kepada pengawas yang terpilih ini modal kerja, modal kerja untuk melaksanakan pada saat terakhir. Pasal 48 mengatakan penempatan atau investasi keuangan haji dapat dilakukan dalam bentuk produk perbankan, surat berharga, emas, investasi langsung dan investasi lainnya.

Pada nomor 2 dari Pasal 48, penempatan dan atau investasi keuangan haji sebagaimana yang dimaksud pada Ayat 1 dilakukan sesuai dengan nilai manfaat dan likuiditas.


Lalu, bagaimana bila dana haji tersebut diinvestasikan pada sektor lain, yakni infrastruktur?


Jika penggunaan dana itu diberikan kepada pemerintah, seumpama dibolehkan, kemudian yang menjalankan kegiatan infrastruktur siapa, larinya pasti kepada BUMN. Apakah selama ini politik anggaran BUMN adalah untung atau rugi?


Seandainya rugi, investasi ini prinsip kehati-hatiannya di mana, dan syariahnya di mana. Oleh karena itu, menurut pandangan saya, bukan kami menolak, tetapi memang prinsip kehati-hatian, prinsip syariah dan nilai manfaat. Inilah yang harus kita kedepankan secara benar, baik, berdasarkan undang-undang.


Jadi, apakah inisiasi pemerintah yakni dari Presiden Joko Widodo ditolak oleh DPR?


Nah inilah, dari kemarin saya ingin menganggapi berbagai macam pertanyaan dari media massa, kami bukan menolak atau menerima menurut. Sikap Komisi VIII sudah jelas, undang-undang ini memberikan amanah hanya dikhususkan untuk haji.


Kedua peraturan pemerintah mengenai dana haji untuk dialokasikan sebagai investasi seperti wacana saat ini belum diatur sehingga aspek pelaksanaannya pun belum diketahui, sementara business plan yang kami inginkan, dari badan pelaksana maupun badan pengawas belum juga dibuat,

karena BPKH ini belum ada kantor yang jelas dan kemudian belum punya aktivitas yang memadai sehingga belum bisa kami menilainya. franciscus theojunior lamintang/AR-3

Baca Juga: