» Kalau Dana Desa yang dibagi-bagikan tersebut diganti untuk membangun industri olahan, itu akan membuat petani sejahtera.

» Namanya Dana Desa, tapi tidak pernah nyampai ke desa? Kemana larinya uang itu.

JAKARTA - Perampokan devisa negara yang terus terjadi seperti melalui impor terigu senilai 37 triliun rupiah tiap tahun harus dihentikan dengan memperkuat produksi pangan dalam negeri seperti mocaf, sagu, dan porang. Devisa sebesar itu, jika ditambah dengan Dana Desa sebesar 72 triliun rupiah akan sangat efektif jika digunakan untuk membangun produktivitas petani dalam negeri.

Anggaran pertanian nasional bisa diambil dari Dana Desa sebesar 72 triliun rupiah dan devisa yang dirampok selama ini sebesar 37 sampai 50 triliun rupiah lebih. Maka APBN untuk petani indonesia total sudah ada diatas 100 triliun rupiah setiap tahunnya.

Pengamat Ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko yang diminta pendapatnya pada Rabu (20/10) mengatakan impor pangan yang terus-menerus secara perlahan akan membuat rapuh satu negara karena setiap tahun mereka melarikan miliaran devisa negara. Indonesia misalnya, setiap tahun harus mencari 5-10 miliar dollar Amerika Serikat (AS) devisa yang harus dilarikan untuk impor pangan.

"Bagaimana negara bisa bertahan kalau pangan yang seharusnya dibangun di dalam negeri malah digunakan membeli produk petani asing. Saatnya, menghentikan perampokan devisa negara melalui impor pangan yang sudah berlangsung dari rezim ke rezim," kata Aditya.

Selain menggerogoti devisa, impor pangan juga sangat memukul petani dalam negeri. Mereka harus menanggung kerugian karena produk pertanian kalah bersaing dari sisi harga dengan komoditas impor yang mendapat berbagai insentif dari pemerintahnya.

"Ini tidak akan terjadi kalau Pemerintah memperkuat petani dan produktivitas dalam negeri dengan kembali sagu, mocaf dan porang. Devisa negara dan hak petani yang dirampok itu seharusnya digunakan petani Indonesia agar lebih sejahtera," katanya.

Kehadiran Badan Pangan katanya semestinya bisa memperkuat pangan lokal asal mereka membuat road map agar ketahuan target yang akan dicapai. Dari road map bisa dievaluasi apa yang harus dibenahi dari hulu ke hilir.

"Daripada impor, kita punya mocaf dari singkong untuk memenuhi kebutuhan industri, harus ke arah sana. Karena food estate untuk mengurangi kebergantungan impor," katanya.

Kalau devisa yang dipakai impor terigu sebesar 37 triliun rupiah tiap tahun digunakan untuk menyerap mocaf, sagu dan porang produksi dalam negeri, maka hanya dalam dua tahun bisa kembali modal dibanding seperti sekarang hilang 72 triliun rupiah.

Selain itu, banyak Dana Desa yang tidak efektif penyalurannya. Dana Desa tidak digunakan sebagaimana mestinya, seperti membangun infrastruktur desa sehingga dana sebesar itu tidak tampak hasilnya.

"Dana Desa 72 Triliun rupiah itu jadi barang dan industri apa? Bayangkan kalau Dana Desa yang dibagi-bagikan tersebut diganti untuk membangun industri olahan, itu akan membuat petani sejahtera. Kalau tidak ada teknologi, bagaimana industri sekunder bisa tumbuh? Bagaimana porang dan mocaf yang ditanam petani kita bisa dijual," katanya.

Dana pengganti impor terigu 37 triliun ditambah Dana Desa 72 triliun rupiah jika digunakan untuk bangun industri porang dan mocaf, maka pabriknya akan lebih besar dari pabrik mi instan yang terbesar yang ada di Indonesia.

"Kalau Dana Desa dibagi-bagi tidak akan menyejahterakan masyarakat karena banyak yang tidak sampai, tapi kalau diberi ke Badan Pangan, maka akan jadi barang sebagai industri pengganti impor yang menjamin hasil dari petani terbeli. Sekarang orang tanam singkong tidak laku, kalau bangun industrinya, maka sebanyak apa pun tanamannya pasti terserap. Namanya Dana Desa, tapi tidak pernah nyampai ke desa. Kemana larinya uang itu," katanya.

Hambat Pangan Lokal

Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi mendesak pemerintah untuk menghentikan impor gandum. Selain menguras devisa, juga merusak nilai jual produksi petani lokal serta menghambat pertumbuhan pangan lokal.

"Perampokan devisa ini harus dihentikan karena memiskinkan rakyat. Kalau mau impor, harus menggunakan forex dia yang disimpan di luar negeri," kata Badiul.

Mestinya kata dia, rencana mengurangi konsumi beras ditindaklanjuti dengan memperkuat produksi pangan non beras, bukan justru menggeser beras dengan mengimpor terigu.

Badiul menegaskan, Pemerintah selama ini lebih senang mengedepankan impor pangan dibanding memperkuat petani. "Akibatnya mafia pemburu rente impor sangat diuntungkan. Padahal pemerintah harusnya memerangi dan memberantas mafia impor. Caranya hentikan impor,"tegasnya.

Pemerintah imbau Badiul seharusnya memperhatikan petani singkong (mokaf ), sagu dan porang dengan memperkuat permodalan, menambah lahan, menjamin penyerapan hasil panen dan produk mereka.

Kebijakan dalam bentuk program diversifikasi pangan seharusnya difokuskan pada upaya pemenuhan produksi mocaf dalam negeri. "Sebagai salah satu negeri agraris terbesar di dunia mestinya Indonesia malu impor pangan," kata Badiul.

Baca Juga: