YOGYAKARTA - Dampak pandemi Covid-19 telah menyebabkan angka kemiskinan dan ketimpangan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengalami kenaikan.
Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) DIY terbaru, jumlah penduduk miskin DIY pada Maret 2021 berjumlah 506,45 ribu penduduk, naik dibandingkan Maret 2020 berjumlah 475,72 ribu penduduk. Secara persentase, jumlah penduduk miskin di DIY pada Maret 2021 adalah sebesar 12,80 persen dari total penduduk DIY, naik juga dibandingkan Maret 2020 sebesar 12,28 persen.
Penduduk miskin pada Maret 2021 paling banyak terdapat di wilayah perkotaan sebesar 358,66 ribu penduduk, sedangkan sisanya sebesar 147,80 ribu terdapat di pedesaan. Kepala BPS DIY, Sugeng Arianto, mengatakan bahwa dalam setahun terakhir ada lebih dari 30 ribu penduduk DIY jatuh miskin yang disebabkan terutama karena efek pandemi Covid-19.
"Peningkatan jumlah penduduk miskin yang terbesar sebagai dampak pandemi terdapat di wilayah perkotaan, pada Maret 2020 sampai Maret 2021 jumlah penduduk miskin perkotaan bertambah sebanyak 32,5 ribu orang," kata Sugeng Arianto, Kamis (15/7).
Situasi ini berbeda dengan kondisi di pedesaan, di mana jumlah penduduk miskin di periode yang sama justru mengalami penurunan sekitar 1,8 ribu orang. Penurunan jumlah kemiskinan di pedesaan disebabkan karena pada pertumbuhan ekonomi DIY pada triwulan III tahun 2020, sektor pertanian mampu menunjukkan kinerja positif sebesar 7,49 persen. Dan pertumbuhan positif ini masih berlanjut pada triwulan I 2021, dimana sektor pertanian tumbuh sebesar 10,86 persen.
Angka kemiskinan ini didasarkan pada hasil penghitungan Susenas Maret 2021 yang menunjukkan bahwa besaran garis kemiskinan DIY adalah Rp 482.855 per kapita per bulan, naik sebesar 3,79 persen dibandingkan dengan garis kemiskinan pada Maret 2020 sebesar Rp 463.479 per kapita per bulan.
"Baik di perkotaan maupun pedesaan, beras memberikan kontribusi terbesar bagi pembentukan garis kemiskinan," ujarnya.
Tak hanya angka kemiskinan, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk DIY pada Maret 2021 juga mengalami peningkatan. Kondisi tersebut tercermin dari angka rasio gini pada Maret 2021 sebesar 0,441, naik dibandingkan dengan Maret 2020 sebesar 0,434. Peningkatan ini terjadi baik di perkotaan maupun pedesaan, namun lagi-lagi angka rasio gini di perkotaan lebih tinggi ketimbang di pedesaan.
Angka ketimpangan di perkotaan DIY pada Maret 2021 tercatat sebesar 0,448, sedangkan angka rasio gini di pedesaan tercatat sebesar 0,334.
"Lebih rendahnya angka rasio gini di dan laju pertumbuhan di pedesaan dibandingkan perkotaan menunjukkan bahwa tingkat kesenjangan penduduk di pedesaan lebih baik daripada di perkotaan," lanjutnya.
Secara keseluruhan, 40 persen penduduk DIY baik di pedesaan maupun perkotaan dengan pengeluaran paling rendah hanya melakukan konsumsi sebesar 15,44 persen dari total konsumsi di provinsi ini pada Maret 2021. Sementara itu, kelompok 40 persen kelompok masyarakat dengan pengeluaran menengah memiliki tingkat konsumsi sebesar 33,17 persen turun dari tahun sebelumnya sebesar 34,50 persen. Dan tingkat konsumsi kelompok 20 persen penduduk berpengeluaran tinggi memiliki konsumsi sebesar 51,39 persen dari total konsumsi penduduk di Provinsi DIY, naik dibandingkan Maret 2020 sebesar 50,24 persen.
"Hal tersebut mengindikasikan adanya peningkatan ketimpangan, meskipun menurut ukuran Bank Dunia tingkat ketimpangan tersebut masih berada pada kategori sedang," kata Sugeng Arianto.