» Indonesia masuk 12 besar negara paling rentan terhadap perubahan iklim.
» Pemerintah perlu melakukan upaya kontinjensi untuk mencegah kenaikan suhu.
JAKARTA - Disrupsi pembangunan di Indonesia bisa mencapai 3 hingga 5 persen akibat bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim. Presidency Chair Suistainable Finance Working Group (SFWG) Kementerian Keuangan, Dian Lestari, mengatakan Indonesia sangat rentan terhadap bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim karena hampir 60 persen penduduknya tinggal di daerah pesisir.
"Banjir rob yang disebabkan naiknya permukaan air laut, berbagai bencana hidro meteorologi dan bencana lainnya. Indonesia bisa dikatakan supermarket bencana yang disebabkan perubahan iklim," kata Dian dalam G20 BI Stronger Fest bertajuk Indonesia Menuju Keuangan Berkelanjutan secara hybrid, di Jakarta, Senin (22/8).
Dampak bencana yang disebabkan perubahan iklim, jelasnya, bisa lebih besar dibandingkan pandemi Covid-19 yang masih terjadi saat ini. Menurutnya, Indonesia masuk 12 besar negara paling rentan terhadap perubahan iklim.
"Kalau kita tidak mengatasi itu, kita sendiri akan menjadi korban secara sosial maupun ekonomi," kata Dian.
Sebab itu, upaya pemerintah mencapai target pembangunan ekonomi rendah karbon 2030 dan net zero emission 2060 harus didukung oleh berbagai pihak, termasuk pihak swasta. Untuk mencapai pembangunan ekonomi rendah karbon 2030 saja, Indonesia membutuhkan dana sekitar 3.400 triliun rupiah. "Untuk mengendalikan perubahan iklim, sesuai target itu tidak murah, investasinya sangat mahal," kata Dian.
Pada kesempatan yang sama, Sustainable Finance Program Lead WWF Indonesia, Rizkiasari Yudawinata, mengatakan Indonesia bisa melakukan efisiensi produksi dengan memperhatikan faktor alam, iklim, dan lingkungan sosial untuk meminimalisir terjadinya perubahan iklim.
Saat ini, jelasnya, sudah ada ketidakseimbangan dari sisi supply and demand sumber daya alam. "Dalam hal pencapaian untuk menuju kemakmuran, kita cenderung menggunakan cara-cara yang sifatnya boros," kata Rizki seperti dikutip dari Antara.
Apabila Indonesia tidak melakukan perubahan dari sisi produksi dengan lebih memperhatikan alam, gas rumah kaca terus meningkat.
Berdasarkan data BMKG, suhu udara rata-rata pada Juni 2022 sebesar 26.73 derajat Celsius atau menunjukkan anomali negatif sebesar -0.06 derajat Celsius. Anomali suhu udara ini merupakan nilai anomali tertinggi ke-22 sepanjang periode data pengamatan sejak 1981.
Ekonomi Hijau
Pengamat Iklim dari Universitas Brawijaya, Malang, Adi Susilo, mengatakan pemerintah harus melakukan transfornasi ke ekonomi hijau untuk mengantisipasi kerugian ekonomi yang dapat ditimbulkan akibat perubahan iklim.
"Kerugian ekonomi akibat bencana iklim begitu besar. Bappennas pernah memperkirakan hingga ratusan triliun. Tentu ini nilai yang luar biasa untuk negara berkembang seperti kita," kata Adi.
Apalagi di tengah ancaman krisis pangan global, penurunan produksi pangan akibat puso atau kekeringan tentu tidak diinginkan. Maka pemerintah perlu melakukan upaya kontinjensi untuk mencegah kenaikan suhu dengan gerakan transformasi ekonomi, salah satunya ekonomi hijau dan rendah karbon.
Manajer Kampanye Walhi, Hadi Djatmiko, mengatakan yang menimpa pesisir Semarang dan bencana hidro dan meteorologi di berbagai tempat adalah kenyataan yang makin sering terjadi.
"Catatan Walhi pada awal 2022, menunjukan kenaikan kuantitas dan kualitas bencana pada 2021 disebabkan oleh krisis iklim akibat dari kerusakan lingkungan hidup yang semakin meluas di Indonesia," kata Hadi.
Selama ini, progres mengurangi emisi sangat lambat karena tidak ada payung hukum yang kuat dan mengikat semua stakeholder.
Menurut dia, diperlukan UU Perubahan Iklim sehingga jelas kewajiban pemerintah dan larangan yang tidak boleh dilanggar. Misalnya, anggaran negara untuk pembangunan yang tidak mematuhi aturan emisi tidak boleh lagi dilakukan.
Sementara itu, Pengkampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Didit Haryo W, mengatakan angka tersebut bisa jadi lebih besar dari yang diprediksikan, mengingat dampak krisis iklim sendiri hari ini lebih parah dari yang kita bayangkan.
"Kebijakan pemerintah untuk serius melakukan transisi energi adalah sebuah keharusan," tegas Didit.
Secara terpisah, Pengamat Energi Terbarukan, Surya Darma, menegaskan pemerintah harus mengakselerasi pengembangan EBT sebagai respons terhadap ancaman bencana yang bisa terjadi pada beberapa tahun ke depan.
"Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan Vietnam yang sangat fokus mendorong pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebagai energi utama dalam transisi energi mereka," kata Surya.