Serangan siber dapat mengakibatkan kerugian besar, baik dari segi ekonomi maupun reputasi.

JAKARTA - Cyber security merupakan bagian sangat kritis dari pertahanan nasional satu negara karena menyangkut berbagai data yang menunjukkan kelebihan dan kelemahannya dari berbagai bidang, seperti pangan, energi, militer, dan pertahanan keamanan secara menyeluruh.

Pakar keamanan siber dari Laboratorium Kota Cerdas dan Keamanan Siber Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Ridho Rahman Hariadi, yang diminta pendapatnya, mengatakan kemampuan cyber security yang memadai sangat dibutuhkan karena perkembangan teknologi ransomware semakin berkembang dan banyak menimbulkan bahaya serta menargetkan korban dalam skala besar.

Ransomware, katanya, dirancang mengenkripsi data di dalam sistem dan mencegah pemiliknya mengakses data tersebut. Setelah itu, penyerang akan mengirim pesan tebusan untuk imbalan pemulihan akses.

"Mengapa ini perlu diantsipasi, karena serangan ransomware terhadap infrastruktur kritis juga dapat mengganggu layanan penting seperti kesehatan dan transportasi. Hal ini pastinya akan membawa ketidaknyamanan dan potensi bahaya bagi masyarakat," kata Ridho.

Tidak hanya institusi besar, tetapi juga mengancam masyarakat luas. Dampaknya termasuk kehilangan data pribadi, seperti foto, dokumen, dan informasi keuangan yang terinfeksi ransomware.

"Pelaku juga dapat mencuri data sensitif dan mengancam untuk mempublikasikan atau menjualnya jika tebusan tidak dibayar. Memungkinkan mereka menyerang akun sosial media, akun bank, maupun akun-akun pribadi lainnya untuk mendapat keuntungan tertentu," katanya.

Diminta pada kesempatan lain, Chief Business & Partnership Botika, Galuh Koco Sadewo, mengatakan di era digital saat ini, serangan siber dapat mengakibatkan kerugian besar, baik dari segi ekonomi maupun reputasi. Oleh karena itu, penting bagi setiap negara untuk memiliki strategi yang komprehensif dan up to date dalam melindungi infrastruktur kritikal dan data sensitif dari ancaman siber.

Galuh mengatakan belajar dari kejadian yang menimpa Pusat Data Nasional (PDN), maka edukasi dan pelatihan terkait keamanan siber harus menjadi prioritas. Serangan ke PDN membuktikan kesadaran mengenai cyber security di level teratas, para pengambil keputusan, sangat lemah. Oleh karena itu, edukasi harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya berlaku bagi personel militer dan pemerintah, tetapi juga bagi masyarakat umum.

"Kesadaran akan pentingnya menjaga keamanan data pribadi dan menghindari jebakan siber adalah langkah awal yang signifikan dalam membangun pertahanan yang kokoh," kata Galuh.

Program-program edukasi tersebut bisa melibatkan sekolah, universitas, dan juga kampanye publik yang terus-menerus.

Menurut Galuh, kerja sama internasional juga memainkan peran penting dalam keamanan siber. Negara-negara perlu bekerja sama dalam berbagi informasi, teknologi, dan strategi untuk menghadapi ancaman siber yang semakin kompleks.

Organisasi internasional, seperti Interpol dan NATO, telah menunjukkan bahwa kolaborasi lintas batas dapat meningkatkan kemampuan dalam mendeteksi dan merespons serangan siber secara lebih efektif.

Teknologi yang terus berkembang juga membawa tantangan baru dalam bidang keamanan siber. Oleh karena itu, menurut Galuh, penelitian dan pengembangan dalam teknologi keamanan harus selalu diperbarui untuk menghadapi ancaman yang semakin canggih.

Investasi dalam teknologi seperti kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin dapat membantu dalam mendeteksi dan menanggulangi serangan siber secara lebih cepat dan efisien.

Bagi setiap organisasi, baik itu pemerintah, perusahaan, atau individu sangat penting memiliki rencana pemulihan setelah serangan. Hal itu mencakup langkah-langkah untuk memulihkan data, menjaga kelangsungan operasional, dan mengurangi dampak dari serangan.

"Dengan memiliki rencana yang jelas dan terstruktur, setiap entitas dapat lebih siap dalam menghadapi ancaman siber dan menjaga stabilitas serta keamanan di tengah era digital yang dinamis," papar Galuh.

Sangat Lemah

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, YB. Suhartoko, menegaskan sistem pengamanan data nasional lemah, padahal cyber secuity sangat fundamental dan tidak boleh diremehkan.

Dalam masa teknologi informasi yang digunakan untuk memanajemen data, risiko terbesarnya adalah peretasan dan sistem manajemen informasi. Teknologi yang berkembang juga dibarengi dengan kecanggihan penguasaan teknologi para, hacker harus menjadi perhatian utama para pengelola data. Pemerintah semestinya memahami juga hal itu.

"Oleh karena itu, sistem dan prosedur pengelolaan data harus dijalankan secara ketat dan terawasi dengan baik untuk menghindari kerugian ekonomi dan kerugian lainnya akibat peretasan data," kata Suhartoko.

Selain itu, frekuensi evaluasi harus sesering mungkin untuk mengantisipasi terjadinya peningkatan kelemahan dari sistem akibat semakin cepatnya perkembangan teknologi informasi. "Yang tak kalah pentingnya adalah sistem back up data harus pola berlapis, baik di tingkat pusat maupun pengguna. Itu penting agar data kita tidak lagi diganggu untuk kepentingan tertentu," kata Suhartoko.

Baca Juga: