Pasokan cabai terganggu akibat dampak cuaca ekstrem yang mengancam produktivitas tanaman hortikultura tersebut saat ini sehingga memicu gejolak harga di banyak daerah.

JAKARTA - Cuaca ekstrem yang menyebabkan peningkatan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), kerusakan tanaman, dan banjir di beberapa wilayah sentra produksi menyebabkan pasokan cabai rawit berkurang. Kondisi ini pun memicu kenaikan harga secara berkepanjangan.

Gejolak harga dalam waktu lama tersebut berpotensi memicu inflasi nasional. Sayangnya, inflasi tersebut dikhawatirkan dapat semakin menggerus daya beli masyarakat lantaran terjadi di tengah pelemahan konsumsi domestik akibat dampak pandemi Covid-19.

Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan), Prihasto Setyanto, menggerakkan seluruh jajarannya memonitor kondisi pertanaman cabai di lapangan dan melakukan berbagai upaya untuk meredam gejolak harga agar tidak berkepanjangan.

Anton menjelaskan berdasarkan data series produksi 5 tahun terakhir produksi cabai rawit, selama Desember- Februari menjadi bulan waspada karena produksi cenderung turun. Untuk saat ini, cuaca ekstrem akibat fenomena La Nina semakin menyebabkan produksi terganggu.

Dia mencontohkan bunga rontok menyebabkan gagal berbuah. "Tak hanya itu, musim hujan juga meningkatkan serangan OPT seperti virus kuning, antraknosa, lalat buah, dan lain sebagainya," ujar Anton, di Jakarta, Selasa (9/3).

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, serangan OPT terbanyak adalah virus kuning 26 persen, antraknosa 29 persen, lalat buah 17 persen, virus keriting 16 persen, dan thrip 12 persen dari luas pertanaman yang ada. Sehingga secara nasional luas pertanaman cabai yang terkena serangan OPT saat ini sebanyak 1.152 ha dan puso 0,15 ha.

Pasokan Terganggu

Terganggunya proses produksi tersebut membuat pasokan cabai berkurang. Alhasil, harga cabai hampir di seluruh daerah melonjak.

Di Garut, Jawa Barat, pemerintah daerah setempat menyampaikan salah satu penyebab harga cabai rawit naik di pasaran sejak sepekan lalu karena pasokan dari petani minim sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar untuk komoditas tersebut. Di sejumlah pasar tradisional, harga cabai saat ini melonjak menjadi 95 ribu rupiah per kilogram (kg) dari harga normal sebelumnya 25 ribu rupiah per kg.

Di Bali, harga cabai rawit di sejumlah pasar tradisional bahkan menembus 120 ribu per kg. Di Jember, Jawa Timur, di daerah tersebut harga cabai rawit di sejumlah pasar tradisional naik hingga mencapai 120 ribu rupiah per kg dan merupakan harga tertinggi selama tiga bulan terakhir.

Kondisi serupa juga terjadi di wilayah Indonesia Timur. Di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, harga cabai di sejumlah pasar tradisional menembus 75 ribu ribu per kg dari normal 15 ribu rupiah per kg.

"Harga cabai melonjak hingga menjadi 75 ribu rupiah per kilogram, padahal pada bulan lalu masih pada harga kisaran 15-25 ribu rupiah per kg," kata Hj Syamsiah, pedagang di Pasar Terong, Makassar, awal pekan ini.

Seperti diketahui, kenaikan harga cabai rawit menjadi salah satu penggerak inflasi pada Februari lalu sebesar 0,10 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kenaikan harga cabai rawit terjadi di 65 kota. Indeks Harga Konsumen (IHK) dengan kenaikan harga tertinggi di Pangkalpinang 39 persen dan Merauke 38 persen.

"Cabai rawit dan ikan segar sama-sama menyumbang andil inflasi 0,02 persen pada Februari 2021," kata Kepala BPS, Suhariyanto, dalam jumpa pers di Jakarta, awal bulan ini.

Baca Juga: