Pemerintah menegaskan RUU HPP bertujuan untuk mendukung cita-cita Indonesia maju dan merupakan bagian dari reformasi struktural di bidang perpajakan.

JAKARTA - Pemerintah mengusulkan penambahan lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi lima. Dalam RUU HPP itu ditetapkan tarif pajak orang superkaya atau crazy rich sebesar 35 persen.

RUU HPP tersebut menyebutkan tarif Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP) berpenghasilan lima miliar rupiah ke atas sebesar 35 persen. "Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan," tulis Draf RUU HPP yang diterima di Jakarta, akhir pekan lalu.

Dengan adanya penerapan tarif pajak untuk WP OP berpenghasilan lima miliar rupiah ke atas, lapisan PKP bertambah menjadi lima lapisan. Keempat lapisan lain, meliputi pengenaan tarif lima persen kepada WP OP berpenghasilan sampai dengan 60 juta rupiah, serta 15 persen kepada WP OP berpenghasilan di kisaran 60-250 juta rupiah.

Lalu, WP OP dengan pendapatan di kisaran 250-500 juta rupiah dikenakan tarif pajak 25 persen dan di rentang 500 juta-5 miliar rupiah diterapkan pajak sebesar 30 persen.

Selain itu, beleid tersebut juga mencatat WP badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap akan dikenakan tarif pajak sebesar 22 persen yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022. Sementara untuk WP badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka, memiliki jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia paling sedikit 40 persen, dan memenuhi persyaratan tertentu, dapat memperoleh tarif sebesar tiga persen lebih rendah dari tarif 22 persen.

Di sisi lain, diatur pula tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada WP orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10 persen dan bersifat final.

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, mengatakan RUU HPP bertujuan untuk mendukung cita-cita Indonesia maju dan merupakan bagian dari reformasi struktural di bidang perpajakan. "Indonesia yang ekonominya tetap maju dan berkelanjutan, dengan pemerataan dan inklusivitas, serta didukung oleh sumber daya manusia yang unggul dan kompetitif," ucap Sri Mulyani dalam keterangan resminya yang diterima di Jakarta, Sabtu (2/10).

Dia juga menilai RUU tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rangkaian panjang reformasi perpajakan yang telah dan sedang dilakukan selama ini, baik reformasi administrasi maupun reformasi kebijakan, dan akan menjadi batu pijakan yang penting bagi proses reformasi selanjutnya.

Berganti Nama

Seperti diketahui, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rapat kerja Komisi XI DPR RI, pada Rabu (29/9), sepakat meneruskan pembahasan RUU HPP ke pembicaraan tingkat II atau pengambilan keputusan pada sidang paripurna DPR.

"Proses yang panjang, deliberatif, diskursif, dan dinamis demi reformasi perpajakan dan Indonesia maju adil sejahtera," ujar Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, dalam akun Twitter resminya di Jakarta, Kamis (30/9).

Meski demikian, dia menyebutkan RUU KUP kini berganti nama menjadi RUU HPP. Menurutnya, pemerintah dan DPR sungguh-sungguh mendengarkan dan berkomitmen terus memberikan dukungan bagi kelompok masyarakat bawah.

Dalam kesempatan berbeda, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Said Abdullah, juga sempat mengatakan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan telah disepakati DPR dan pemerintah menjadi UU. "DPR bersama pemerintah telah menyepakati RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang di dalamnya telah menyepakati pajak karbon," ucap Said dalam rapat paripurna DPR RI ke-6 Masa Persidangan I tahun sidang 2021-2022 di Jakarta, Kamis (30/9).

Baca Juga: