Tren keterisian rumah sakit untuk kasus Covid-19 pada dua pekan terakhir turun dari 6,10 persen menjadi 5,34 persen.

JAKARTA - Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, memprediksi status pandemi Covid-19 di dunia berakhir paling lambat pada pertengahan 2023. Kalau semua indikator terpenuhi, setidaknya bisa akhir tahun ini atau awal tahun depan pandemi bisa diakhiri.

"Saya prediksi, paling lambat pertengahan tahun depan itu sudah bisa dicabut status Public Health Emergency International Concern (PHEIC). Itu artinya secara tidak langsung mengakhiri pandemi," kata Dicky yang dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (20/9).

Dicky mengatakan indikator yang dimaksud, di antaranya angka kematian yang rendah, angka kasus orang dirawat di rumah sakit yang rendah, serta angka konfirmasi positif yang rendah.

Menurut Dicky, hal itu bisa dicapai melalui intervensi kesehatan masyarakat dengan protokol kesehatan menjaga jarak, memakai masker dan mencuci tangan (3M) serta tracing, testing, dan treatment (3T).

Selain itu, vaksinasi Covid-19 menjadi bagian terpenting dalam upaya menekan laju kasus agar mata rantai penularan pada penduduk rentan seperti lansia maupun mereka yang berkomorbid bisa diputus.

"Ini yang disebut bisa menjadi dasar bahwa endemi sudah on the track, bahwa akhir dari pandemi sudah kelihatan," katanya.

Dilansir dari laporan analisis Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes per 17 September 2022 diinformasikan terjadi penurunan laju kasus Covid-19 dalam dua pekan terakhir.

Kasus Aktif Menurun

Tren kasus konfirmasi pada dua pekan terakhir mengalami penurunan dari 3.815 menjadi 2.367 kasus. Kasus aktif menurun dari 44.568 menjadi 30.525 kasus. Dalam periode yang sama angka kematian turun dari 2,48 menjadi 2,47 persen. Jumlah pasien dirawat menurun dari 3.898 menjadi 3.341 orang.

Begitu juga pada tren keterisian rumah sakit pada dua pekan terakhir turun dari 6,10 persen menjadi 5,34 persen dengan jumlah spesimen yang diperiksa menurun dari 79.083 menjadi 63.827 sampel.

Tren positivity rate dalam kurun waktu yang sama mengalami penurunan dari 10,28 persen menjadi 8,00 persen. Rasio kontak erat meningkat dari 7,5 menjadi 8,0 persen dari yang seharusnya di atas 15 persen.

Persentase cakupan vaksinasi Covid-19 primer dosis 1 sebesar 86,93 persen, persentase cakupan vaksinasi Covid-19 primer dosis 2 sebesar 72,70 persen, dan persentase cakupan vaksinasi booster 1 sebesar 26,59 persen dari total target sasaran 234,66 juta jiwa.

"Artinya, daya upaya yang dilakukan berbagai negara, termasuk Indonesia itu sudah benar. Makanya ini momentum untuk terus dipercepat, jangan sampai kita keduluan oleh mutasi virus ini," ujarnya.

Secara terpisah, Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Pandu Riono, mengatakan posisi Indonesia pada akhir 2022 sangat tepat untuk mulai mengakhiri pandemi.

"Lakukan secara bertahap dengan menghapus pembatasan kegiatan masyarakat dan tetap mengejar cakupan vaksinasi," ujarnya.

Ia mengatakan September 2022 menjadi waktu transisi bagi Indonesia ke pemulihan sosial ekonomi dengan memperhatikan kelompok yang paling terdampak.

Lebih jauh, Dicky menekankan status endemi Covid-19 masih tetap perlu diantisipasi. Jangan sampai virus tersebut bersirkulasi dan bermutasi di Indonesia.

"Artinya, kalau endemik ini terjadi jangan sampai terjadi di Indonesia. Kita harus terkendali dan bisa meminimalisir peluang dari virus bersirkulasi di Indonesia," ujar Dicky kepada Koran Jakarta.

Dia menilai situasi Indonesia semakin membaik dalam mengendalikan Covid-19. Meski begitu, masih banyak indikator yang perlu pembenahan.

Dia menyebut, modal imunitas penduduk Indonesia perlu diperkuat dengan data. Dengan begitu, hal tersebut bisa benar-benar mengantisipasi subvarian dan tren keparahan dan kematian dari Covid-19.

"Masih ada sebagian dari masyarakat kita yang jadi korban. Gejala long Covid sangat serius terutama kelompok lansia dan komorbid dampaknya bisa cukup besar," jelasnya.

Baca Juga: