Pemerintah harus membuktikan bahwa pidato Presiden Joko Widodo pada KTT Perubahan Iklim COP26 seperti laju deforestasi yang turun signifikan, benar adanya.

Presiden Joko Widodo baru saja menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia. Dalam pidatonya, Senin (111), Joko Widodo mengatakan, perubahan iklim adalah ancaman terbesar bagi kemakmuran dan pembangunan global. Solidaritas, kemitraan, kerja sama, dan kolaborasi global merupakan kunci. Dengan potensi alam yang begitu besar, Indonesia terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim. Laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir. Kebakaran hutan juga turun 82 persen di tahun 2020.

Indonesia juga telah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600 ribu hektare yang akan tuntas di 2024, terluas di dunia. Indonesia juga telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara tahun 2010 sampai 2019.

Sektor yang semula menyumbang 60 persen emisi Indonesia akan mencapai carbon net sink, selambatnya tahun 2030.

Belum lama setelah pidato di Glasgow, bahkan presiden belum kembali ke tanah air karena harus berkunjung ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, terjadi banjir bandang di Batu, Jawa Timur. Bahkan banjir yang menewaskan sedikitnya 6 orang tersebut, meluas ke wilayah tetangganya, Kota Malang.

Banjir tersebut merupakan kejadian yang tidak pernah disangka karena sungai yang airnya meluap bukan sungai yang mempunai aliran deras. Warga setempat menyebut sungai yang sudah mati karena di saat musim kemarau tidak ada airnya dan di musim huja ada airnya ada tetapi biasa saja.

Banyak komentar menyatakan bahwa bencana ekologis seperti banjir bandang yang terjadi di Batu adalah dampak nyata dari perubahan iklim. Dan bila diurut semua, dasarnya berasal dari kerusakan hutan, kerusakan alam yang semakin massif baik di darat maupun laut. Perubahan tata guna lahan dan rumah yang didirikan di daerah tebing ditambah fenomena La Nina yang membuat curah hujan lebih banyak dari biasanya juga turut memberi kontribusi.

Tentu kita tidak ingin hal seperti ini berlangsung terus menerus. Jika kita ingin selamat dan anak cucu kita bisa menikmati alam ini maka generasi tua, generasi yang ada sekarang, dan juga generasi yang berkuasa sekarang ini harus taat pada ketentuan peraturan perundangan, keseimbangan alam, kearifan lokal, dan prinsip-prinsip keberlanjutan.

Bencana ekologis bisa terjadi kapan saja dan mengancam siapa saja. Menjadi sangat penting setiap orang lebih hati-hati dan bijaksana memperlakukan alam. Karena itu setiap kegiatan manusia harus dapat mencegah dan memelihara lingkungan hidup. Di kawasan hutan lindung misalnya, jangan melakukan kegiatan budi daya apapun, tidak menebang pohon, tidak mendirikan bangunan terstruktur, dan melakukan kegiatan yang akan menurunkan fungsi kawasan sebagai pengendali tata air dan pelindung erosi.

Kemudian jangan mendirikan bangunan atau membangun jalan di dalam kawasan resapan air agar tidak menghalangi meresapnya air hujan. Di sempadan sungai selain tidak boleh mendirikan bangunan dan kegiatan budi daya tetapi harus ditanami pohon yang berfunsi meningkatkan kapasitas resapan air.

Meskipun kita ambisius mengejar target-target pembangunan, namun tidak boleh melanggar tata ruang, merusak hutan, alih fungsi lahan, dan kegiatan yang menghancurkan lingkungan karena dampaknya nyata, akan menghancurkan keselamatan manusia.

Pemerintah harus melakukan itu, harus membuktikan bahwa pidato Presiden Joko Widodo pada KTT Perubahan Iklim seperti laju deforestasi yang turun signifikan, benar adanya.

Baca Juga: