» Kalau ini bisa terjadi, ini lebih menakutkan dari KPK. Kemana saja koruptor bergerak akan diawasi oleh rakyat.

» Kalau keamanan nasional saja sulit didapatkan, bagaimana mau "survive" sebagai bangsa.

JAKARTA - Pemerintah dinilai kesulitan memperbaiki perilaku korupsi yang sudah mendarah daging di dalam birokrasi dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan birokrasi, terutama para oknum yang mengincar uang negara untuk kepentingan pribadinya.

Dengan sulitnya pemerintah dan aparat penegak hukum mengawasi para koruptor, dipandang perlu membuat gerakan antikorupsi yang digagas oleh rakyat di mana 1 koruptor diawasi 1.000 mata rakyat.

Dengan gerakan yang diiniasi rakyat tersebut, diharapkan para koruptor lebih takut dibanding Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pengamat Ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko yang dihubungi baru-baru ini mengatakan kalau tidak ada gerakan antikorupsi, maka petani, nelayan dan lainnya akan terus dimiskinkan. Begitu pula, pengangguran tidak terkendali karena uang negara untuk membangun kesejahteraan rakyat dikuras oleh para koruptor.

"Kalau aparat tidak bisa mengawasi, maka harus ada gerakan antikorupsi, seribu mata awasi satu koruptor. Nanti akan ada NGO yang mencatat laporan rakyat, bukan lapor ke aparat karena sudah kehilangan kepercayaan, kepastian hukum, penegakan hukum," katanya.

Kondisi ini jangan dibiarkan agar rakyat tidak kehilangan kepercayaan kepada negara. Tapi semangat antikortupsi rakyat yang tidak berkeseudahan harus hidup, tumbuh dan menguat.

Kalau keamanan nasional yang mendasar berupa pangan, ekonomi dan energi, serta udara dan air bersih saja sulit didapatkan, maka bagaimana mau "survive" sebagai bangsa.

Sementara bank-bank terus menyalurkan kredit konsumsi, padahal mau bangun Ibu Kota Negara (IKN) tidak ada dananya. Di sisi lain, para debitur BLBI dengan leluasa menarik dividen bank rekap, sesuatu perlakuan yang sama sekali tidak masuk akal. "Ini berjalan terus, Pemerintah bayar dividen kepada debitor BLBI. Sama sekali tidak masuk nalar, di mana ada kepastian hukum kalau praktik seperti ini jalan terus," katanya.

Belum lagi ada pupuk dari distributor yang dioplos dengan garam yang bukan saja merugikan petani tetapi mematikan karena bagi tanaman, garam itu racun.

"Kalau bukan perkawanan, mana bisa dia jadi distributor. Ini bisa terjadi karena KKN. Itu bicara ribuan ton pupuk. Menterinya sendiri tidak tau atau tidak peduli. Pupuk subsidi tidak ada yang ke petani. Kenapa hal ini tidak terdengar, karena ditutupi," katanya.

Masalah kelangkaan pupuk itu karena penyalagunaan kekuasaan yang menjalar dari atas ke bawah. Kalau pupuk saja dipersulit, harga dibuat mahal, sehingga ada yang sama sekali tidak kebagian.

"Petani kaya itu temen mereka. Yang mengatakan petani tidak miskin dia tidak pernah jadi petani atau teman dia petani yang kaya. Bagaimana nggak miskin kalau gagal panen sekali langsung bangkrut. Kalau bangkrut harus jual tanah, yang beli orang kaya. Kemudian dia jadi buruh tani. Berarti dia harus kasih hasilnya 40 persen ke pemilik tanah. Sebagai pemilik lahan saja dengan 100 persen hasil buat dia, tidak sanggup hidup, apalagi sekarang hanya dengan 60 persen," paparnya.

Sulit Bersaing

Dengan perilaku birokrasi yang korup ditambah tekanan dari eksternal yaitu inflasi dan kenaikan suku bunga global, maka mau tidak mau Bank Indonesia (BI) tidak punya pilihan harus menaikkan suku bunga acuan.

Akibatnya, rakyat tambah miskin karena daya beli semakin menurun, pengangguran bertambah karena pabrik yang padat karya semuanya tutup. "Mana mungkin bisa bersaing dengan Tiongkok, Vietnam, dan India. Kalau bersaing gaji buruh rendah itu cara berfikir primitif. Gaji buruh harus naik bukan karena inflasi, tapi karena nilai tambah barang yang dikerjakan. Nilai tambah tidak ada, karena orang tidak mau investasi akibat indeks korupsi yang tinggi," katanya.

Tesla saja sudah membantah mau investasi ke Indonesia. Pemerintah sebenarnya tidak perlu memohon ke investor kalau kebenaran dan kepastian hukum ditingkatkan, mereka akan datang dengan sendirinya.

Belum lagi kata Aditya, transisi politik membuat ketidakpastian tinggi dari banyak faktor yang tidak bisa diperhitungkan secara bisnis. "Jalan keluarnya untuk saat ini seribu mata rakyat mengawasi satu koruptor, supaya tidak ada lagi Kepala Satpol PP yang punya harta puluhan miliar," katanya.

Sebab, yang selalu dikorbankan yang kecil. Padahal stabilitas ekonomi nasional dibangun dari bawah. Dari krisis ke krisis, sudah terbukti rakyat kecil, buruh, UMKM yang mampu bertahan.

"Kalau tidak dibela habis-habisan, kita tidak bisa maju selangkah. Dari CPI kelihatan kalau kita mundur. Lihat saja indeks tertinggi negara makmur, indeks terendah pasti negara gagal," pungkasnya.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo merespons penurunan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) yang diumumkan Transparency International Indonesia (TII) pada pekan ini. Pemerintah akan menjadikan penurunan itu sebagai bahan evaluasi.

"Itu akan menjadi evaluasi dan koreksi kita bersama," kata Presiden Jokowi seusai mengunjungi Pasar Baturiti, Tabanan, Bali, Kamis (2/2).

Baca Juga: