Temuan iBlastoid meniru model genetik dan arsitektur blastokista manusia secara keseluruhan. Hal ini termasuk struktur yang serupa dengan massa sel bagian dalam. Ini terdiri dari sel seperti epiblas, dikelilingi oleh lapisan luar sel serupa dengan trofektoderm dan sebuah rongga yang menyerupai blastocoel.
Dalam embrio manusia, epiblas merupakan cikal bakal dari embrio yang mengalami perkembangan. Sedangkan trofektoderm merupakan cikal bakal dari plasenta. Akan tetapi, Peneliti dari Institut Penemuan Biomedis, Monash University, Profesor Jose Polo, mengatakan, iBlastoid tidak sepenuhnya identik dengan blastokista.
Contoh, blastokista awal tertutup di dalam zona pelusida, sebuah selaput yang berasal dari sel telur. Dia berinteraksi dengan sperma selama proses fertilisasi, kemudian menghilang. Sebab iBlastoid berasal dari fibroblas dewasa, mereka tidak memiliki zona pelusida.
Hasil penelitian dimuat jurnal Nature. Penulis utama pada makalah Nature tersebut, Dr Xiaodong (Ethan) Liu, peneliti pascadoktoral di Polo Lab, menyimpulkan, setelah mengumpulkan seluruh data dan hasilnya selaras, mereka percaya bahwa ini merupakan suatu terobosan.
Sementara itu, Jia Ping Tan, rekan penulis utama dan mahasiswa PhD di Polo Lab menambahkan, "Kami sangat kagum bahwa sel-sel kulit dapat diprogram ulang menjadi struktur seluler 3D yang menyerupai blastokista."
Penelitian ini diterbitkan tepat saat Lembaga Internasional untuk Penelitian Sel Induk (International Society for Stem Cell Research) akan merilis pedoman untuk penelitian tentang pemodelan embrio manusia secara pembiakan sel (in vitro). Pedoman tersebut dirilis mengikuti laporan tahun 2017 dan 2018 tentang pembuatan blastoid tikus secara in vitro oleh ilmuwan Inggris dan Belanda.
Selain itu, juga perkembangan dalam pembuatan sel induk manusia yang meniru aspek perkembangan embrio awal. Pedoman tersebut diharapkan hadir pada semester pertama tahun ini.
Meskipun tidak ada preseden legislatif Australia yang mengatur kegiatan penelitian model sel induk terintegrasi blastokista manusia, seperti iBlastoid, seluruh eksperimen tersebut telah mendapat persetujuan Komite Etika Manusia (Human Ethics) Monash University. Hal ini sesuai dengan standar hukum Australia dan pedoman internasional.
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya infertilitas dan keguguran karena kegagalan embrio manusia pada tahap awal dalam menanamkan diri atau berkembang pada saat implantasi. Kondisi ini kerap terjadi dalam kurun waktu 2 pekan pertama setelah fertilisasi, ketika para kaum hawa, bahkan tidak tahu bahwa mereka sedang hamil.
Keguguran "diam-diam" ini kemungkinan besar mewakili proporsi yang signifikan dari jumlah total keguguran yang terjadi. Menurut Profesor Polo, pembuatan iBlastoid dapat menyediakan sebuah sistem model yang mendatangkan wawasan tentang tahap awal kehamilan tersebut.
Wakil Dekan Bidan Riset Fakultas Kedokteran (Faculty of Medicine) di Monash University, Profesor Ross Coppel, mengatakan bahwa penemuan tersebut akan memungkinkan pengembangan metode yang lebih baik untuk IVF, pengembangan protokol untuk terapi gen embrio dan metode skrining obat-obatan baru yang lebih baik.
"Dengan penelitian lebih lanjut dan sumber daya yang tepat, penemuan ini dapat membuka industri baru bagi banyak negara-negara di dunia," ujar Ross.
hay/G-1