Sejak wabah di Wuhan, Tiongkok, Januari lalu, hingga kini kematian akibat virus Covid-19 telah menembus angka 3.000 orang dan menginfeksi lebih dari 80.200 orang di seluruh dunia, termasuk empat WNI. Ilmuwan dari berbagai negara berjuang menemukan vaksin virus tersebut.
Media memberitakan Chairul Anwar Nidom, Guru Besar Ilmu Biokimia dan Biologi Molekular Universitas Airlangga (Unair) atas temuannya, manfaat empon-empon (jahe, kunyit, temulawak, dan sejenisnya) yang mampu mengatasi dampak virus Covid-19. Untuk lebih memberikan pemahaman kepada pembaca, Koran Jakarta menurunkan kembali wawancara Nidom,
Untuk mengetahui apa saja yang mesti dilakukan dalam mencegah dan mengatasi virus Covid-19, wartawan Koran Jakarta, Selocahyo berkesempatan mewawancarai Ketua Tim Riset Corona and Formulasi Vaksin di Professor Nidom Foundation (PNF), Chairul Anwar Nidom, di kawasan Kali Rungkut, Surabaya, baru-baru ini. Berikut petikan selengkapnya.
Apa yang Bapak ketahui tentang virus Covid-19?
Awalnya tidak begitu tertarik dengam Covid ini karena saya pikir gelombangnya akan pendek. Kemudian, saya melihat ada situasi yang tidak menguntungkan Indonesia, di mana kita dipojokkan seolah tidak mampu mendeteksi virus ini. Padahal, pada 2004, saya sendirian di Indonesia mengungkap virus flu burung dengan pendekatan molekuler dan saya tahu Kemenkes juga mampu.
Apa induk dari virus ini?
Virus Covid-19 disebut virus misterius. Kalau dilihat dari reseptornya, tidak cocok dengan reseptor SARS, AC2, atau reseptor MERS, DL26. Mengapa dikaitkan dengan MERS dan SARS. Dari tujuh virus korona yang menginfeksi manusia, dua ini yang berbahaya. Awalnya adalah korona, lalu berkembang menjadi tujuh jenis, tapi yang berbahaya ada tiga, yaitu Covid-19, MERS, dan SARS. Covid-19 tidak diketahui nempel di reseptor mana. Struktur dasarnya sama dengan virus korona yang menginfeksi kelelawar.
Seperti apa mata rantai penularan Covid-19?
Terdeteksi awal pasien yang dari pasar hewan itu. Meski hewannya macam-macam, struktur virusnya seperti yang hinggap di kelelawar. Kemudian, dilakukan penelitian pada trenggiling dan ditemukan, tapi bisa saja hanya terkontaminasi virus, tapi belum tentu menularkan. Memang betul struktur virusnya seperti yang di kelelawar, tapi apa benar kelelawar yang menularkan. Ini jadi pertanyaan peneliti dan pengambil kebijakan.
Bagaimana cara penularan?
Kita belum tahu apakah bisa lewat sentuhan, air liur, udara, atau lainnya, tapi sekarang kita tidak boleh ambil risiko dengan mengambil yang terberat, melalui udara. Seperti yang di kapal pesiar, karena terpaksa berada dalam lingkungan udara yang ada virusnya, lalu akhirnya terinfeksi.
Ini harus dicari, apakah dibantu kuman lain atau memang terinfeksi langsung. Kalau itu infeksi langsung, seharusnya yang 75 WNI lainnya juga terinfeksi. Ini yang menarik, mengapa yang tiga WNI terinfeksi, sisanya tidak. Berarti kemungkinan ada bakteri lain yang mengikis reseptor tiga orang itu sehingga Covid bisa masuk.
Seberapa penting faktor daya tahan?
Penting, tapi kalau seperti di kapal pesiar itu dalam satu lingkungan tidak terinfeksi maka bisa dicek dalam darah 75 orang itu, apakah muncul antibodi Covid, lalu dicek ada apa lagi di dalam tubuhnya. Itu yang memotret episentrum itu. Begitu juga mahasiswa yang di Natuna. Bagaimana tubuh orang Indonesia yang datang dari episentrum Wuhan. Seharusnya pemerintah menjembatani ini untuk peneliti. Kalau tidak ada dukungan pemerintah, mana mau mahasiswanya diteliti darahnya oleh kami.
Apa yang harus dilakukan?
Memang ada persoalan di Covid ini, mungkin kebijakan pemerintah menunggu. Tapi bukan berarti menunggu itu tidak mampu. Saya melihat persoalan ini mengapa luar negeri menyalahkan kita tidak mampu. Lalu, saya berontak ada apa ini. Lalu, teman-teman di lapangan, baik Eijkman di Jakarta atau Unair, mengedepankan tentang bagaimana mengidentifikasi virus pada orang.
Ini seperti jawaban dan pertanyaan tidak nyambung. Dulu 2003-2004 kami fokus pada virusnya, bagaimana karakternya, karena sumber virus (flu burung) ada di Indonesia di ayam, dan harus cepat dianalisa. Sementara sekarang sumbernya bukan di sini, kenapa kita harus ribut identifikasi, seperti cari jarum di jerami. Mengapa kita tidak menyiapkan host (inang)-nya menghadapi situasi yang wabah itu medsosnya lebih cepat dan liar.
Saya teringat 2008, saat infeksi flu burung meluas, saya kotak-katik ketemu kurkumin, di empon-empon. Lalu, saya ke sana ke mari berkampanye khasiatnya. Lalu, saya bandingkan sitokin yang dihasilkan flu burung dan dari peneliti di luar (Covid-19) ternyata mirip. Kalau begitu, lebih baik masyarakat menggunakan jamu empon-empon. Itu celah yang diberitakan sehingga seolah kita menemukan obatnya.
Sekarang, kami sedang membuat formulasi khusus, jahe, kunyit, dan sebagainya ini untuk virus flu burung, virus influenza, dan lainnya. Lalu, kami komunikasikan dengan ahli dan sebagainya. Yang penting masyarakat teredam dulu yakin bahwa kita mampu mengatasi (mengobati) wabah ini.
Bagaimana dengan pola penyebarannya?
Ada problem, antara virus dan inang harus ada tempat masuknya yaitu reseptor. Nah, reseptor penyakit ini sangat dipengaruhi faktor genetika. Penyakit khusus seperti Covid ini meski dalam satu ruangan belum tentu tertular karena dipengaruhi struktur reseptor yang berbeda. Ikatan antara reseptor dan virus ditentukan bagaimana bentuk reseptor terhadap virus atau adakah perubahan (mutasi) virus.
Pada gelombang satu, wabah ini di wilayah monoethnic reseptor hanya etnik tertentu yang terkena. Maka awalnya 99 persen yang meninggal hanya orang Tiongkok daratan. Lalu, ditarik dengan yang terinfeksi di Filipina, Thailand, Australia, dan Singapura ternyata juga imigran atau turis dari Tiongkok. Faktor genetika. Standar gelombang satu, monoethnic reseptor.
Sekarang ada perkembangan orang Iran meninggal, Jepang, dan sebagainya. Pertanyaan berikutnya, apakah virusnya yang sudah bermutasi sehingga bisa sesuai dengan reseptor orang-orang di negara itu (gelombang dua-multy ethnic reseptor) atau ada infeksi kuman lain seperti flu atau lainnya, yang membantu virus Covid-19 ini bisa masuk.
Ini yang harus diantisipasi sebagai negara yang belum terjangkau virus itu. Pemerintah semestinya fokusnya ke sini. Kalau perlu pemerintah berinisiatif mengundang para ahli dari negara-negara lain untuk membicarakan kenapa kita tidak kena. Sekarang belum ada informasi dari Tiongkok soal reseptor virus ini.
Apa yang terjadi kalau ditetapkan sebagai pandemi?
Kalau sudah ditetapkan sebagai wabah global, WHO yang pegang kendali. Kalau sudah ditetapkan, Indonesia mau buat vaksin harus minta persetujuan WHO. Sama juga kalau pemerintah ingin menangani Covid-19 harus satu komando dari Jakarta. Kalau pandemi harus satu kebijakan, dibentuk satgasnya. Saya condong dipimpin dari TNI agar sejalan dengan Menkesnya.
Apa yang harus dilakukan pemerintah?
Sebagai bahan penelitian vaksin, perlu ada spesimen (dahak dan ludah) WNI yang tertular di Singapura atau kapal pesiar, bahkan mahasiswa yang pulang dari Wuhan, untuk menemukan perbedaan. Pemerintah layak melobi negara lain. Seharusnya Indonesia yang secara geografis berpotensi terjangkau Covid perlu meminta virusnya sebagai bagian mencegah penularan, sekaligus menemukan vaksinnya. Pencegahan lewat vaksin, jauh lebih murah daripada pengobatan.
Bisa dijelaskan khasiat empon-empon?
Meski belum teruji klinis karena virusnya kami belum punya, tapi empon-empon ini sudah teruji mengatasi infeksi flu burung. Saat menginfeksi paru-paru mengeluarkan berbagai macam sitokin. Sitokin Covid ini hampir mirip, sehingga ekstrapolasinya bisa digunakan untuk mengendalikan Covid, hanya belum teruji. Secara konsumsi ada yang namanya nutrigenomik, makanan dari alam di suatu lingkungan yang mendukung kesehatan orang di wilayah itu.
Epigenetik adalah suatu lingkungan yang bisa mengganggu nutrigenomik. Dengan nutrigenomik yang ada di Indonesia, rempah seperti empon-empon ini adalah yang disediakan alam. Ada ikatan nutrigenomik dengan manusia atau etnik yang hidup di wilayah itu. Perubahan pola makan akan mengganggu kesehatan diri kita, menjadi epigenetik. Tapi, saya melihat kebiasaan atau penggunaan jahe dan sebagainya ini tidak banyak berubah. Walaupun dalam bentuk masakan atau minuman penyegar.
Apa itu sitokin?
Virus masuk ke sel paru dan berkembang. Lalu, sebagai reaksi di sel itu terbentuk sitokin. Kemudian sel pecah, virus dan sitokin keluar. Karena ada oksigen maka banyak radikal bebas. Sitokin menjadi oksidan memecah sel-sel lain. Saat itu terjadi, sitokin terus bertambah sehingga berlebihan. Ini yang kemudian fatal. Maka konsepnya empon-empon membendung sitokin dengan kurkumin dari jahe, sedangkan virusnya dicegah dengan vaksin.
Bila sitokin dibendung, apa tidak melemahkan sistem pertahanan paru?
Itu pentingnya penelitian untuk menentukan formulasi agar dosisnya seimbang. Selama ini tingkat konsumsi yang umum dilakukan masyarakat sudah benar, dilakukan apa adanya saja. Kalau khusus terindikasi penyakit tertentu, baru membutuhkan formulasi yang tepat, sesuai yang dihasilkan industri bekerja sama dengan para dokter.
Mengapa banyak pasien yang bisa sembuh di Tiongkok?
Virus ini ada dua macam, yang bersifat low pathogenic (jinak) dan yang high pathogenic (ganas). Yang tinggi harapan sembuh adalah yang terinfeksi low pathogenic dengan gejala batuk dan demam, belum menyerang paru. Tapi uniknya kecepatan penyebarannya sangat tinggi.
Ada juga jenis sebuah virus yang punya dua reseptor (ganas dan jinak). Jadi, setelah berkembang cukup banyak di reseptor atas (tenggorokan), lalu turun ke resptor di paru-paru. Tapi, itu perlu penelitian lebih lanjut. Sementara kita sekarang virusnya saja belum ada, apa yang diteliti. Jadi, spesimen pasien terinfeksi ini penting karena bisa memotret banyak hal, apakah sudah bermutasi ke tahap multy ethnic reseptor, numpang infeksi kuman lain, dan sifat pathogenic-nya.
Penelitian menemukan reseptor ini untuk pencegahan. Bila kita menemukan Covid bisa masuk karena numpang kuman lain, dicocokkan dengan tiga WNI yang di kapal. Sehingga terbukti apakah orang Indonesia bisa terinfeksi atau tidak, untuk pencegahan juga untuk perbendaharaan internasional, karena kita mampu. Kita tidak boleh berpangku tangan dalam bencana kemanusiaan.
Apakah respons kita cukup cepat, mengingat penerbangan ke dan dari Tiongkok baru ditutup awal Februari?
Sistem birokrasi di dalam membuat respons lama. Orang-orang kementerian pintar-pintar, tapi tidak semua pengambil keputusan. Mereka tidak berani, jadi hanya bisa menunggu. Padahal orang yang kemarin tertular, hari ini belum terlihat di scanner bandara. Gejala muncul dalam 14 hari pasca-infeksi.
Bila wabah Covid-19 terjadi di Indonesia, apakah kita siap melakukan karantina?
Kalau ada outbreak bagaimana mencegah orang terinfeksi menjadi sumber penularan. Semua orang takut bahaya. Negara harus membekali dengan SOP yang harus ditaati. Problem terbesar kita adalah mentaati aturan yang ditetapkan, semboyannya aturan ada untuk dilanggar.
Kesiapan fasilitas kesehatan?
Dasarnya kita siap. Rumah sakit rujukan itu jangan hanya di kota besar. Kalau bicara Indonsesia hanya Jawa, kita berdosa dengan yang di pulau-pulau. Saya usulkan, mendirikan isolator tidak hanya di RS rujukan. Semua daerah yang dianggap berisiko perlu. Sekarang isolator tidak mahal, bisa dibangun dengan kontainer di rumah sakit kecil, dengan sistem bio safety level 3. Bisa ditempelkan ke bangunan rumah sakit biayanya tidak sampai satu miliar.
Sesulit apa menemukan virus Covid-19?
Sama sekali tidak. Kami sudah punya platformnya saat menemukan vaksin flu burung. Kalau kita dapat virus yang high patoghenic maka kita harus menerapkan reverse genetic, untuk mengubah sit vaksin menjadi low patoghenic atau menggunakan platform knock out. Bahkan tanpa virusnya, asal pemerintah bersedia, bisa kita buat struktur DNA buatannya, untuk diterapkan knock out. Saya sudah punya strukturnya, di dunia sudah ada. Jadi bisa, tergantung pemerintah saja. Memang lebih baik menggunakan struktur DNA virus asli karena karakternya lebih mudah ditentukan.
Apa salahnya melobi mereka, kerja sama juga erat apalagi Tiongkok. Kalau yang dipikirkan takut dana, terus ya tidak jalan. Untuk menemukan vaksin, virus adalah sumbernya. Tatkala menginfeksi akan menimbulkan antibodi. Kalau pemerintah berhasil minta, apakah dari virus WNI di Singapura dengan yang di kapal pesiar sama. Apakah antara mereka sama, atau bahkan sejenis dengan yang di Wuhan. Soal dana relatif, nomor sekian, yang penting harus ada virusnya.
N-3