JAKARTA - Kepada Kolonel Bambang Widjanarko, ajudan Presiden Soekarno, Pangkostrad Mayjen Soeharto, meminta Bambang, agar menyampaikan pesannya agar Presiden segera meninggalkan kawasan Halim Perdanakusuma, paling lambat sebelum tengah malam.

Demikian sepenggal cerita yang dikutip dari buku James Luhulima, Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965, Melihat Peristiwa G30S dari Perspektif Lain (2007). Pesan itu, lebih mirip 'gertakan'. Karena disampaikan dengan nada ultimatum dengan penekanan selambatnya sebelum tengah malam harus meninggalkan Halim.

Ketika itu, Kolonel Bambang diperintahkan Soekarno untuk memanggil Mayjen Pranoto Reksosamudro yang telah ditunjuk sebagai caretaker Menteri/Panglima Angkatan Darat. Mayjen Pranoto sendiri, saat itu tengah ada di markas Kostrad.

Bambang pun kembali ke Halim dengan tangan hampa. Mayjen Soeharto, melarang Jenderal Pranoto pergi ke Halim. Bahkan yang dibawa Bambang, adalah ultimatum agar Presiden Soekarno segera angkat kaki dari Halim, sebelum tengah malam.

Dalam bukunya, James menyebut gertakan Soeharto itu, menjadi titik balik dari kekuasaan Soekarno. Karena begitu ultimatum Soeharto itu dilaporkan oleh ajudannya Soekarno bersama beberapa pejabat negara yang ada di sana, segera membahas, kemana Presiden harus pergi.

Belum juga diputuskan, Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa ditelpon Mayjen Soeharto. Brigjen Sabur diperintahkan Soeharto segera membawa Presiden Soekarno keluar dari Halim. "Presiden di PAU Halim, adalah berada di tempat yang salah," kata Soeharto pada Brigjen Sabur lewat sambungan telepon.

Tidak hanya itu, lewat sambungan telepon, Mayjen Soeharto juga mengungkap, pasukan Kostrad akan mengejar pasukan G30S yang dicurigainya ada di Halim. Semua orang yang mendengar pembicaraan via telepon itu, bingung. Tidak terkecuali Soekarno. Bahkan kemudian Soekarno bertanya pada Omar Dhani. "Aku mau dibawa kemana?"

Omar Dhani sendiri mengatakan, Madiun bisa jadi pilihan, dengan alasan night landingnya paling baik. Semua yang hadir, memberi usulan. Tapi akhirnya, saran dari J Leimena yang dipilih. Presiden Soekarno disarankan untuk pergi ke Istana Bogor saja.

Akhirnya, Presiden Soekarno dengan dikawal beberapa personel pasukan menyingkir dari Halim menuju ke Istana Bogor lewat jalan darat. Menjelang tengah malam Presiden tiba di Istana Bogor.

Dengan menyingkirnya Soekarno dari Halim, menurut James, kepercayaan diri Soeharto bertambah besar. Ia makin percaya diri, dan merasa Soekarno tak sekuat yang dibayangkannya. Soeharto pun makin di atas angin berhadapan dengan Soekarno. Bisa dikatakan pula, sejak gertakan itu, tuah kekuasaan yang melekat di tangan Soekarno, perlahan terbang.

"Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa dengan kepergian dari PAU Halim Perdanakusuma ke Istana Bogor pada tanggal 1 Oktober 1965 malam itu, menjadikan wahyu Cakraningrat (karisma yang harus dimiliki seorang raja untuk memerintah) yang selama ini melingkupi Presiden Soekarno mulai meredup," tulis James Luhulima dalam bukunya.

Babak berikutnya, Soeharto pun makin percaya diri untuk 'membangkang' pada Soekarno. Saat Soekarno memutuskan mengangkat Mayjen Pranoto Reksosamudro, Soeharto terang-terangan menolaknya. Tidak hanya itu, Jenderal Pranoto pun ikut ditahan, dengan tuduhan terlibat G30S.

Bisa dikatakan, dalam fase itu, Soekarno kian tak berdaya. Tuah kekuasaannya benar-benar sudah terbang ketika itu.

Seperti diketahui, sejarah akhirnya mencatat Soekarno diberhentikan jadi Presiden pada 12 Maret 1967, setelah pidato pertanggungjawabannya ditolak oleh MPRS yang saat itu diketuai oleh Jenderal AH Nasution. Soeharto pun diangkat jadi Pejabat Presiden. Tahun 1968, baru secara resmi Soeharto naik tampuk, menggantikan Soekarno sebagai Presiden.

Baca Juga: