Pemburu paus dari Inggris dan AS berlomba ke Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, termasuk perairan Hindia Belanda yang kini menjadi Indonesia.

Achmad Sahri, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Perburuan paus merupakan aktivitas manusia di laut yang tergolong tua. Perburuan paus paling awal diperkirakan telah dimulai sejak 3000 SM yang dilakukan oleh masyarakat Inuit di Atlantik Utara dan Pasifik Utara menggunakan harpun dan menyasar beberapa jenis paus dekat pantai.

Bahkan, jika gambar di gua-gua dapat dijadikan acuan, kegiatan perburuan paus telah didokumentasikan sejak 6000 SM di Korea Selatan.

Motivasi perburuan paus paling awal ini utamanya untuk memenuhi kebutuhan makanan atau sebagai komoditas barter.

Sementara, pada fase awal, perburuan paus komersial baru ramai sejak abad ke-17. Tren ini muncul seiring bertumbuhnya kebutuhan produk hasil buruan, terutama minyak paus dan sikat balin, di Eropa.

Inggris, Belanda, Jerman, dan Amerika Serikat, adalah empat negara barat yang getol berburu paus. Jenis paus sperma lebih diincar para pemburu karena lapisan lemak (blubber) dan organ spermaceti (lilin cair di bagian kepala) yang menyumbang banyak minyak. Populasi global paus sperma pada masa lalu ditaksir sekitar 1,1 juta ekor sebelum puncak
perburuan paus komersial pada awal abad ke-18
.

Perburuan paus masa ini mengantarkan para pemburu dari Inggris
dan Amerika Serikat ke Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, termasuk perairan Hindia Belanda, wilayah yang kini menjadi negara Kepulauan Indonesia.

Memburu Paus Sperma

Laut Indonesia - dahulu bernama Hindia Belanda - tak lepas dari lokasi perburuan paus sperma sejak abad ke-18 sampai awal abad ke-20.

Temuan ini terkuak dari peta global aktivitas perburuan paus yang dipublikasikan peneliti Charles H. Townsend dari New Bedford Whaling Museum, Amerika Serikat. Peta tersebut menyajikan data bulanan kapan dan di mana kapal Amerika Serikat dan Inggris berburu paus selama 1761-1920 berdasarkan logbook dan jurnal hasil dokumentasi awak kapal pemburu.

Peta yang dirilis pada 1935 itu menunjukkan bahwa, dari 5 spesies paus yang dipetakan secara global oleh Townsend, dua diantaranya ditemukan di perairan Indonesia, yaitu paus sperma dan paus bongkok. Namun, hanya paus sperma yang memiliki data terbanyak.

Peta Townsend menyebutkan tiga lokasi perburuan (disebut whaling ground: perairan laut di mana paus lebih mudah ditemukan) di perairan Indonesia. Di antaranya adalah Molucca Passage Ground di perairan sekitar Maluku Utara/Halmahera, Celebes Sea Ground di perairan sebelah timur pulau Kalimantan dan utara Pulau Sulawesi, dan Sulu Sea Ground di perairan antara pulau Kalimantan (termasuk negara bagian Sabah, Malaysia) dan Filipina.

Riset yang saya lakukan bersama tim memperkuat peta Townsend. Penelitian yang dipublikasikan di Journal of Biogeography berhasil membuat gambaran yang lebih detail seputar perburuan paus sperma di Indonesia.

Naik-turun Perburuan Paus

Perburuan paus sempat surut pada akhir abad 19 karena penemuan minyak bumi.

Namun, pada pertengahan abad ke-20, perburuan kembali meningkat-terutama karena kelangkaan minyak setelah Perang Dunia II. Inggris, Norwegia, Belanda, Uni Soviet dan Jepang tercatat menjadi negara yang dominan dalam perburuan paus periode komersial modern ini.

Perburuan fase ini ditandai dengan penggunaan kapal tenaga uap dan meriam tombak (harpoon cannon) yang diperkenalkan oleh pemburu paus Norwegia pada pertengahan abad ke-20. Kapal-kapal ini mampu memproses hasil buruan menjadi produk dagang diatas kapal dan di tengah laut. Minyak dari paus hasil buruan ini banyak digunakan sebagai bahan baku berbagai produk, misalnya sabun dan margarin.

Selain memburu paus balin terutama right whale, pemburu abad modern juga menyasar paus rorqual (utamanya paus biru, paus bongkok, paus sirip dan paus Sei) terutama di daerah lintang tinggi. Jepang kemudian menyusul dengan mengembangkan kapal bermesin diesel.

Setelah Perburuan Komersial Berakhir

Penemuan minyak bumi tahun 1860-an dan kemunculan produk pengganti dari produk paus (seperti minyak nabati dan bahan lain pengganti sikat balin) membuat perburuan paus tidak lagi menguntungkan.

Sejak dekade 60-an, perburuan paus juga mulai berkurang seiring penurunan populasi paus global dan faktor penentu lainnya seperti moratorium perburuan paus oleh Komisi Paus Internasional (Internasional Whaling Commision - IWC) pada 1986.

Sementara, Jepang dan Norwegia masih melanjutkan perburuan paus setelahnya dengan berlindung di bawah izin "riset saintifik" dan selalu mengajukan keberatan atas moratorium perburuan paus yang ditetapkan oleh IWC.

Pada abad 21, masih ada negara-negara yang masih melakukan perburuan paus seperti Kanada, Islandia, Jepang, Norwegia, Rusia, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan masyarakat di Pulau Faroe, di Denmark.

Negara pendukung perburuan paus terutama Islandia, Jepang, dan
Norwegia menginginkan pencabutan moratorium IWC terutama untuk stok paus jenis tertentu. Sementara negara antiperburuan paus dan aktivis lingkungan menolak pencabutan moratorium.

Untuk mengakomodasi praktik tradisional yang masih dilakukan oleh beberapa komunitas di dunia, perburuan paus tradisional masih dibolehkan dengan pengaturan yang ketat. Salah satu contohnya di Lamalera, Nusa Tenggara Timur,. Praktik ini merupakan bagian dari budaya masyarakat lokal dan telah dicatat oleh pelaut Portugis sejak tahun 1600an.

Di Lamalera, paus sperma menjadi target perburuan utama, dengan hasil tangkapan yang bervariasi saban tahun. Mereka menangkap 5 ekor pada tahun 1973; rata-rata 40 ekor per tahun antara tahun 1960an sampai pertengahan tahun 1990an, total 13 ekor dari tahun 2002-2006, rata-rata 20 ekor per tahun dari tahun 2008 sampai 2014, dan hanya menangkap 3 ekor pada 2015.

Sayangnya, pemerintah Indonesia belum memiliki posisi formal (menyetujui atau menolak) seputar tradisi tersebut.The Conversation

Achmad Sahri, Peneliti di Pusat Riset Oseanografi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Baca Juga: