DAVOS - Survei terbaru menyebutkan hampir setengah dari Chief Executive Officer (CEO) perusahaan global menyatakan model bisnis mereka tidak akan dapat bertahan dalam satu dekade karena laju kemajuan teknologi seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan tekanan iklim.

Jajak pendapat yang dilakukan perusahaan akuntansi global PricewaterhouseCoopers (PwC) terhadap 4.702 pemimpin perusahaan di seluruh dunia menemukan bahwa 45 persen mengatakan bisnis mereka bisa gagal dalam 10 tahun, kecuali mereka beradaptasi. Persentase yang pesimis itu naik dibanding survei 2023 yang tercatat 39 persen.

"Mereka sebenarnya kurang optimis dibandingkan tahun lalu mengenai prospek pendapatan mereka, dan lebih sadar akan perlunya perubahan mendasar dalam bisnis mereka," kata Ketua Global PwC, Bob Moritz, saat memaparkan survei tersebut dalam World Economic Forum, di Davos, Swiss, Senin (15/1).

Dikutip dari The Straits Times, Moritz mengatakan ketika ketakutan terhadap inflasi mereda, para pemimpin bisnis menjadi lebih fokus pada AI dan perubahan iklim.

Moritz menambahkan kalau negara-negara memerlukan infrastruktur yang lebih baik dan energi ramah lingkungan untuk memenuhi permintaan AI yang melonjak.

"Semua orang beralih ke mainan baru yang cerah dan berkilau, dan kita bahkan belum memiliki daya komputasi yang cukup untuk benar-benar membuat dunia aktif dan menjalankannya," katanya melalui panggilan telepon.

"Pertumbuhan ekonomi diperlukan untuk mendorong investasi pada AI, dan permintaan energi akan terus meningkat," tambahnya.

Survei juga menemukan bahwa para pemimpin bisnis menjadi kurang peduli terhadap tantangan makroekonomi, dan lebih dari sepertiga CEO memperkirakan jumlah tenaga kerja mereka akan meningkat 5 persen pada 2024. Saat membahas bisnisnya sendiri, Moritz mengatakan PwC berusaha membuat keputusan yang lebih cerdas mengenai perjalanan perusahaan, untuk mengurangi emisi dan memangkas biaya.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, yang diminta tanggapannya, mengatakan dua transisi yang tidak bisa dicegah yakni transformasi teknologi dan transisi energi yang memicu perubahan model bisnis diberbagai sektor.

Bagi pelaku usaha di Indonesia, mereka dituntut segera beradaptasi dengan transformasi digital untuk membuat bisnis menjadi lebih efisien, dan lebih memiliki daya saing.

Selain itu, mereka harus menerapkan standardisasi lingkungan seperti Environmental, Social, and Governance (ESG) sehingga perusahaan bisa lebih tahan terhadap tekanan krisis iklim dan memiliki berbagai keunggulan seperti branding yang lebih positif di mata investor maupun konsumen.

Perusahaan, kata Bhima, juga dituntut mempersiapkan pekerja atau karyawan untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan dan cara kerja. "Pemerintah juga harus mempersiapkan dukungan kepada pelaku usaha yang menerapkan ESG dan masuk ke digitalisasi," tegasnya.

Sementara itu, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, YB Suhartoko, mengatakan suka tidak suka, teknologi kecerdasan buatan akan menggantikan sebagian dari pekerjaan yang dilakukan manusia. Namun demikian, tidak semua pekerjaan dapat digantikan oleh teknologi kecerdasan buatan.

Hanya pekerjaan yang bersifat mekanistis, berulang, dan secara prosedur dapat diprogramkan sangat mungkin tergantikan. Untuk pekerjaan yang membutuhkan soft skill, seperti pengambilan keputusan, strategi, investigasi, masih membutuhkan kemampuan personal masih bisa bertahan.

Profesi Baru

Chief Business & Partnership BOTIKA, Galuh Koco Sadewo, mengatakan teknologi terus mengalami perkembangan, dari zaman revolusi industri hingga era kecerdasan buatan (AI). Hal itu memunculkan kekhawatiran kalau teknologi akan menggantikan peran manusia.

Sejarah mengajarkan bahwa perubahan terjadi pada cara menjalankan bisnis, metode lama tidak lagi relevan, dan profesi yang dulu ada dapat menghilang, tetapi seiringan dengan itu, muncul pula profesi-profesi baru.

"Indonesia sebagai negara dengan sejumlah unicorn, menjadi pasar yang besar dan menarik perhatian raksasa teknologi global. Namun sayangnya, saat ini Indonesia masih cenderung menjadi konsumen daripada produsen teknologi. Hal ini perlu diubah jika kita ingin mencapai perkembangan adaptasi terhadap teknologi yang signifikan," kata Galuh.

Perkembangan kecerdasan buatan juga masih didominasi oleh negara-negara Barat dan Tiongkok, sementara di Indonesia, riset di bidang kecerdasan buatan masih terbatas dan belum mampu bersaing dengan perkembangan global. Untungnya, banyak riset yang bersifat open source, sehingga RI tidak terlalu tertinggal.

Menurut Galuh, langkah yang perlu diambil adalah meningkatkan sumber daya manusia (SDM) agar dapat bersaing, membuat regulasi yang membuat sulit bagi pemain asing untuk masuk dan menguasai pasar lokal seperti yang dilakukan di Tiongkok dan Russia.

Pemerintah, tambahnya, harus memberi insentif kepada wirausahawan teknologi, misalnya menyediakan dana riset, keringanan pajak, atau mempermudah investasi.

Baca Juga: