JAKARTA - Pembinaan narapidana di Indonesia perlu fokus pada upaya untuk mencegah lembaga pemasyarakatan (LP) menjadi "sekolah kejahatan." Masyarakat kerap menilai LP kerap kali menjadi ajang bagi narapidana untuk bertukar pengalaman kejahatan, sehingga ketika kembali pada masyarakat mereka kerap menjadi lebih berpengalaman dalam melakukan kejahatan.

Apa yang ada di benak masyarakat ternyata ada benarnya. Dari data tahun 2016 hingga 2021 dari jumlah rata-rata narapidana atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang masuk Lembaga pemasyarakatan sebesar 130.881 orang sekitar 20.319 orang masuk kembali. Artinya sebesar 15,49 persen WBP masuk kembali ke LP.

Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Kristen Indonesia (UKI) Ktut Silvanita, tingginya angka residivisme, di mana mantan narapidana kembali melakukan kejahatan setelah bebas. Hal ini bisa jadi karena selama di lapas, mereka terpapar dengan budaya kriminal dan bertukar pengalaman dengan narapidana lain, termasuk residivis.

"Dari data tersebut menunjukkan beberapa kendala yang masih dihadapi Lembaga Pemasyarakatan untuk membina WBP agar tidak masuk kembali," ujar dia dalam seminar hibrida berjudul Penguatan Pembinaan Narapidana sebagai Upaya Mencegah Lembaga Pemasyarakatan 'Sekolah Kejahatan' pada hari Jumat (21/06).

Alasan WBP masuk kembali ke lapas, utamanya karena kondisi ekonomi. Selain itu ada kondisi lingkungan seperti stigma negatif dari masyarakat, dan karena pribadi residivis itu sendiri. Jika pembinaan dilakukan dengan tepat maka WBP dapat menjadi potensi ekonomi dan menjadi modal Pembangunan.

Ketut juga menyampaikan bahwa pembekalan keterampilan juga perlu diberikan kepada WBP. Perlu juga ada program pemberdayaan Tenaga Kerja-Warga Binaan Pemasyarakatan (TK-WBP). Program ini harus bisa meningkatkan dan melengkapi WBP dengan kemampuan untuk berusaha sehingga memberikan kesempatan untuk memulai bisnis. Program ini tidak hanya merupakan kemampuan finansial tetapi juga mengurangi residivis.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Harkristuti Harkrisnowo memaparkan beberapa masalah yang dihadapi oleh LP adalah keterbatasan fasilitas dan hukum pidana yang ada di Indonesia. Saat ini yang terjadi masih didominasi oleh pidana penjara. Namun, tidak hanya seputar masalah fasilitas dan juga hukum, beberapa masalah sosial yang dihadapi mantan narapidana saat bebas juga menjadi salah satu penyebabnya.

"Pekerjaan menjadi hal yang sering dihadapi mantan narapidana setelah kembali kepada kehidupan sosial. Maka dari itu diperlukan tempat sementara yang dapat memberi kebutuhan mantan napi sebelum benar-benar kembali kepada masyarakat," katanya.

Rumah singgah menjadi sebuah solusi yang diharapkan dapat memberikan kebutuhan bagi mantan narapidana. Konsep rumah singgah sendiri menurut Harkristuti adalah tempat sementara bagi napi yang memiliki fasilitas berbasis komunitas [residential treatment centers], didirikan untuk memberi kesempatan dan peluang transisi terhadap sumber daya komunitas.

"Dengan Rumah Singgah mereka memiliki upaya untuk kembali ke masyarakat sebagai anggota komunitas yang sehat, taat hukum, dan produktif setelah mereka dinyatakan bersalah melakukan kejahatan tertentu," ungkapnya.

Harkristuti menambahkan esensi keberadaan rumah singgah adalah sebagai wadah penting dalam proses reintegrasi mantan narapidana ke masyarakat. Fungsinya tidak hanya sebagai tempat tinggal sementara, tetapi juga sebagai jembatan untuk membantu mereka kembali ke kehidupan normal.

Beberapa poin penting tentang esensi rumah singgah adalah memberikan dukungan transisi. Harkristuti menyampaikan bahwa rumah singgah harus bisa menyediakan tempat tinggal dan kebutuhan dasar bagi mantan narapidana yang baru keluar dari lapas, yang mungkin belum memiliki tempat tinggal atau pekerjaan yang stabil.

Agar mendapat pekerjaan rumah singgah harus mampu memberi pembinaan dan keterampilan. Selain itu setelah kembali ke masyarakat, tempat ini dapat berperan dalam membantu mantan narapidana membangun jaringan sosial. Hal ini diharapkan mampu menghindari stigma negatif yang sering melekat pada mereka, dan memberikan kesempatan untuk memulai hidup baru dengan lebih positif.

"Rumah singgah dapat mencegah terjadinya residivisme, dengan memberi dukungan dan pembinaan yang komprehensif, pembantu mantan narapidana kembali ke jalur yang benar dan mengurangi risiko mereka untuk kembali melakukan kejahatan," katanya.

Pengajar Fakultas Hukum UKI Rospita Adelina Siregar, untuk menjawab pertanyaan LP sebagai sekolah kejahatan secara definitive maka perlu data yang cukup. Diperlukan penelitian dan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemasyarakatan di Indonesia.

Namun ia menegaskan untuk mencegah terjadinya sekolah kejahatan perlu penguatan pembinaan, pengawasan, dan koordinasi antar pihak terkait. Hal ini bisa menjadi kunci untuk memastikan bahwa lapas benar-benar menjalankan fungsinya sebagai tempat pembinaan dan bukan sekolah kejahatan.

Baca Juga: