» Dengan menggunakan hak pilih, maka warga ikut menentukan arah bangsa dan negeri ini ke depan.

» Pada pemilu 2019, sebanyak 34,75 juta orang atau 18,02 persen dari jumlah DPT yang tidak menggunakan hak pilihnya.

JAKARTA - Masyarakat diminta agar aktif menggunakan hak pilihnya pada Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan berlangsung pada Rabu, 14 Februari pekan ini. Pentingnya partisipasi publik yang maksimal itu untuk mencegah potensi oknum-oknum tertentu melakukan kecurangan dan kejahatan dengan memanipulasi hasil Pemilu.

Tim Hukum dan Advokasi serta peneliti dari LBH Arya Wirajasa Yogyakarta, Mustofa mengatakan masyarakat harus khawatir ada oknum yang bisa bermain dengan memanfaatkan rendahnya tingkat partisipasi publik dalam pemilu.

"Kita semua tahu ada gejala untuk mendorong pilpres satu putaran dengan segala cara dan cara paling gampang adalah dengan menambah tingkat partisipasi masyarakat atau mencurangi surat suara," papar Mustofa.

Mustofa menjelaskan, jika tingkat partisipasi masyarakat hanya 70 persen, angka itu bisa digelembungkan menjadi 80 persen misalnya demi kepentingan salah satu paslon. Apalagi jika merujuk tingkat partisipasi publik yang rata-rata masih di kisaran 70-an persen.

Pada pemilu 2009 misalnya, partisipasi publik hanya 71 persen, kemudian pada 2014 naik menjadi 75 persen, dan di 2019 melonjak menjadi 81 persen.

"Ada lonjakan 10 persen partisipasi masyarakat sejak 2009 yang masyarakat berhak curiga bahwa itu bukan riil partisipasi masyarakat. Pola seperti itu sangat mungkin terjadi di 2024 untuk memenangkan salah satu paslon," tandas Mustofa.

Sebagaimana diketahui, tingkat partisipasi masyarakat pada pemilu di negara-negara demokrasi terbesar, seperti India pada 2019 hanya 67 persen. Angka tersebut merupakan yang terbesar sepanjang sejarah pemilu di India.

Sedangkan di negara demokrasi terbesar kedua di dunia, yakni Amerika Serikat pada pilpres 2020 tingkat partisipasi masyarakat sebesar 66,9 persen, tertinggi sejak 1990.

Pakar politik Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman, mengatakan, kekhawatiran akan terjadinya kecurangan dalam pemilihan presiden (pilpres) 2024 bisa saja terjadi mengingat telah banyak indikasi pelanggaran pemilu.

"Potensi kecurangan ini terutama untuk mengejar kemenangan salah satu paslon cukup besar," kata Airlangga.

Selain itu penentuan Pejabat Sementara Kepala Daerah oleh pemerintah sampai indikasi intervensi aparat, maupun politisasi bansos yang berlangsung merupakan indikator pendukung rawannya kecurangan.

"Sebelumnya bisa kita saksikan dari awal, mulai kasus di Mahkamah Konstitusi yang menunjukkan terjadinya indikasi conflict of interest, yang semakin dikuatkan dengan pelanggaran etik oleh Ketua KPU ketika menerima pencalonan dari Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden sesuai dengan keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), maka peluang kecurangan bisa saja dilakukan dengan cara mobilisasi maupun pada permainan di tingkat partisipasi warga," ungkapnya.

Tentukan Arah Bangsa

Sementara itu, pengamat Komunikasi Politik Universitas Bina Nusantara (Binus) Malang, Frederik M. Gasa mengatakan, warga negara harus aktif berpartisipasi pada pemilu 2024. Apalagi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 204,8 juta.

"Dari jumlah pemilih yang banyak ini, tentu kita mengharapkan agar semuanya menggunakan hak pilihnya untuk memilih, baik Presiden-Wakil Presiden maupun anggota legislatif,"ungkap Frederik.

Dengan menggunakan hak pilih, maka warga negara ikut menentukan arah bangsa dan negeri ini ke depan. "Indonesia Emas 2045 boleh jadi ditentukan juga oleh keputusan kita di tanggal 14 Februari mendatang," katanya.

Jika mengacu pada pemilu sebelumnya tahun 2019, ada sebanyak 34,75 juta orang atau 18,02 persen dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tidak menggunakan hak pilihnya atau menjadi golongan putih (golput). Pada pemilu kali ini, diharapkan semua penduduk yang punya hak pilih menggunakan hak konstitusinya sehingga angka golongan putih bisa berkurang.

"Kita tentu memberi ruang bagi mereka yang mungkin merasa bahwa pada kontestasi pemilu kali ini tidak ada sosok yang merepresentasi visi, misi, dan tujuan mereka, dan memilih untuk tidak memilih juga adalah pilihan. Namun, pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita pernah berada pada situasi yang benera-benar ideal? Dimana ada figur atau kandidiat yang sangat merepresentasikan kehendak dan visi kita," katanya.

Tentu ini jawaban yang berat dan bisa saja kita juga dihadapkan dengan pertanyaan yang sama pada ajang pemilu 2024 kali ini.

Barangkali, walau situasinya tidak ideal, kita 'dipaksa' untuk selalu mengawal prosesnya hingga tuntas. Pada situasi seperti saat ini, orang bisa melakukan berbagai macam hal yang bertujuan untuk mencapai tujuan kelompoknya.

"Sebagai masyarakat, kita harus lebih aktif dan partisipatif untuk bisa menjaga agar permainan ini bisa berjalan dengan fair hingga pluit terakhir dibunyikan. Siapa pun yang akan keluar sebagai pemenang tentunya yang dikehendaki oleh mayoritas penduduk RI,"ungkap Frederik.

Baca Juga: