JAKARTA - Koordinator Center for Budget Analysis (CBA) Jajang Nurjaman mengatakan, ada beberapa hal Program Cetak Sawah yang dilakukan Kementerian Pertanian (Kementan) dengan melibatkan TNI AD, melalui Kodam dan jajarannya, pada akhirnya gagal alias tidak berjalan. Karena pada dasarnya prajurit TNI AD disiapkan untuk berperang dan masuk militer bukan karena ingin bertani. Selain juga Feasibilty study yg tidak mendalam dan tidak terukur saat akan memulai program cetak sawah.
"Karena (bertani) memang bukan bagiannya. Selain itu terlihat tidak ada semacam pembinaan dan penyuluhan semacamnya sebagai bekal bagi TNI AD yang terlibat dalam Program Cetak Sawah," ujar Jajang di Jakarta, Selasa (26/10).
Jajang menilai, pemerintah dalam menjalankan program lumbung pangan masih banyak kelemahan. Contohnya Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang seharusnya menjadi acuan dasar penyusunan rencana kebijakan dalam praktiknya hanya jadi alat penguat dalam pembukaan lahan. Seperti yang terjadi di Gunung Mas Kalimantan Tengah untuk komoditas singkong, 700 hektar dibuka tanpa adanya AMDAL.
"Ditambah keterlibatan TNI AD yang pada dasarnya tidak paham soal pertanian, program ini menjadi semakin salah kaprah," tandasnya.
Jajang pun menyebut, pemerintah seperti tidak mau belajar dari kesalahan sebelumnya, misalnya dalam program cetak sawah yang juga melibatkan militer. Karena memang bukan bidangnya berakibat adanya 17 temuan dan 21 masalah hal ini berakibat kerugian negara miliaran rupiah.
"Terkait program lumbung pangan, kami meminta Presiden Joko Widodo segera mengevaluasi kembali, khususnya keterlibatan militer," tegasnya.
Jajang memaparkan, harusnya pemerintah mendasarkan tujuan dari program lumbung pangan seperti yang dirumuskan, yakni untuk mengatasi krisis pangan dampak Covid-19, soal perubahan iklim, dan ketergantungan impor. Antara tujuan dan praktik menjalankan program sangat tidak nyambung, jadinya salah kaprah.
"Yang terjadi saat ini juga dengan mengabaikan Masalah AMDAL justru memperburuk pencegahan perubahan iklim," paparnya.
Terakhir, lanjut Jajang, seharusnya yang dilibatkan penuh adalah masyarakat sipil "kalangan profesional dan lainnya, khususnya petani. Selanjutnya, soal lahan pertanian yang harus dilakukan adalah membantu para petani yang bermasalah dengan alat produksi dan menyelesaikan persoalan ketimpangan lahan, bukan malah memperluas lahan dengan militer.
Dalam acara diskusi online bertema "Peran TNI dalam Proyek Food Estate," Rabu (13/10/2021) kemarin, Direktur Imparsial, Gufron Mabruri mengingatkan pemerintah mempertimbangkan kembali pelibatan TNI AD dalam proyek lumbung pangan atau food estate. Ia mengatakan, pemerintah mesti belajar dari program cetak sawah beberapa tahun lalu. Dalam program itu, TNI AD juga dilibatkan.
Akan tetapi Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK menemukan berbagai masalah dalam program cetak sawah. "Pemerintah mestinya belajar dalam program [cetak sawah dengan] pelibatan militer. Ada 17 temuan BPK yang memuat 21 masalah. Temuan itu misalnya luasan sawah yang belum sesuai ketentuan, dan ada kerugian miliaran. Ini mestinya jadi bahan evaluasi," kata Gufron Mabruri seperti dikutip dari jubi.co.id.
Katanya, pada batasan tertentu pelibatan militer diperlukan mengatasi eskalasi ancaman. Akan tetapi pelibatan militer harus memenuhi sejumlah hal. Setidaknya ada enam unsur, yakni situasi darurat atau kondisi objektif. Namin dalam kondisi normal, sipil yang harus memegang kendali penuh.
Unsur lain adanya permintaan institusi sipil. Ini untuk memastikan bahwa situasi yang dihadapi di luar kapasitas institusi sipil untuk menanganinya. Berdasarkan keputusan politik otoritas sipil, agar ada legitimasi.
"Ini sebagai bentuk kontrol sipil terhadap militer. Untuk memastikan pertanggungjawaban terhadap publik. Bersifat sementara, gak boleh permanen, proporsional artinya pengerahan militer mesti sesuai tingkat ancaman," ucapnya.
Ia mengatakan, kini yang menjadi pertanyaan, apa urgensi dan legitimasi pelibatan militer dalam program lumbung pangan yang direncanakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2020 itu.
"Memang sejak awal, program lumbung pangan ini memunculkan banyak kritik terutama dari masyarakat sipil di tingkat nasional hingga daerah," ucapnya.
Katanya kritik itu misalnya datang dari Walhi dan Koalisi Masyarakat Sipil. Kedua pihak ini berpendapat proyek lumbung pangan di kawasan hutan dan lahan gambut itu, dapat merusak lingkungan, menambah deforestasi, menambah kerugian negara, berpotensi konflik dan meminggirkan rakyat.
"Setiap pelibatan perbantuan militer, mesti didasarkan kebijakan politik negara. Kebijakan DPR bersama pemerintah yang dirumuskan melalui rapat kerja kedua pihak. Tidak bisa militer dilibatkan begitu saja dalam konteks pengamanan dalam negeri, pengamanan otoritas sipil tanpa ada keputusan politik negara," ujarnya.
Sementara itu, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI, M. Haripin juga mengatakan, pelibatan militer dalam berbagai kebijakan tentu boleh. Akan tapi ada berbagai syaratnya. Hanya saja selama ini pemerintah tidak melakukan sejumlah syarat itu.
"Langsung lompat, tidak melalui tahapan yang ada yang mesti dilakukan. Dan MoU saja tidak cukup, minimal bentuknya peraturan presiden," kata Haripin.
Ia mengatakan, salah satu alasan pelibat militer dalam program lumbung pangan, untuk membantu pemerintah daerah. "Akan tetapi, kita refleksikan lagi bahwa kebijakan ini benar benar desentralisasi dan pemda sendiri hanya melaksanakan perintah," ucapnya.