Pemimpin yang baik belum tentu mau berpolitik, tetapi mereka harus dipanggil demi menyelamatkan bangsa.

Pemimpin bukan mereka yang menggadaikan atau memperdagangkan jabatannya, sehingga membiarkan dirinya dipelihara oleh kroni.

JAKARTA - Masih belum tuntasnya koalisi partai politik (parpol) dalam menetapkan calon wakil presiden (cawapres) diharapkan tidak menjadi ajang untuk melakukan transaksional, tetapi benar-benar sebagai proses seleksi untuk mencari pendamping calon presiden (capres) yang tepat.

Cawapres yang dipilih kelak pun diharapkan benar-benar kandidat yang tidak hanya mau jadi pemimpin karena berburu kekuasaan, uang, dan kerajaan bisnisnya, tetapi calon yang dibutuhkan rakyat karena memiliki moral dan berintegritas tinggi.

Sebab, kalau pemimpin hanya mencari kekuasaan, negara akan hancur karena mencampuradukkan kepentingan rakyat dan kepentingannya. Saking tidak bermoralnya, figur yang berburu kekuasaan biasanya menggunakan jargon negara untuk kepentingan pribadinya, bukan untuk rakyat.

Sebab itu, Indonesia perlu tokoh-tokoh sebagai cawapres yang dari sisi moral dan integritasnya tidak perlu diragukan lagi seperti Quraish Shihab dan KH Michtaful Akhyar. Kedua tokoh itu dipandang sebagai sosok yang mampu menjaga pilar moral kebangsaan, karena dalam rekam jejak hidupnya sudah terbukti sebagai orang benar.

Berbeda dengan banyak generasi muda yang sudah gila uang dan kekuasaan dinilai hanya akan menghancurkan negara, sehingga Indonesia tidak akan mungkin maju kalau niatnya seperti itu.

Sekretaris Kasimo Institute, Edward Wirawan, di Jakarta, Selasa (19/9), mengatakan cawapres haruslah dari tokoh yang jadi panutan sehingga yang bisa menuntun arah perjalanan bangsa ke depan.

"Pemimpin harus mengedepankan kepentingan bangsa dan negara, bukan menjadikan kehidupan rakyat sebagai prioritas terakhir. Kalau demikian kualitasnya bukan pemimpin, tapi mau memimpin," kata Edward.

Menurut dia, pemimpin pun bukan mereka yang menggadaikan atau memperdagangkan jabatannya, sehingga membiarkan dirinya dipelihara oleh kroni karena khawatir nanti setelah pensiun.

"Pejabat negara tidak perlu khawatir kalau mau pensiun. Pemimpin dan pejabat yang tidak pernah mau pensiun, pada akhirnya akan menggerogoti dari dalam seperti rayap menggerogoti rumah. Bagaimana bisa bertahan, kalau rumah ibarat NKRI penuh dengan rayap. Sewaktu berkuasa, dia memelihara sarang rayap, saat waktunya dia turun jabatan, rayapnya berkembang biak. Dan pemimpin baru membawa rayap baru," katanya.

Tiongkok, katanya, bisa maju karena berani memenjarakan puluhan ribu orang. Mereka tidak mau miskin dan sengsara seperti awal abad ke-19. Musuh suatu negara bukan orang asing, tapi dari dalam. Kalau mereka sudah lemah, maka asing datang. Musuh asing tidak akan datang kalau di dalam kuat. Jadi, keliru kalau berpikir mau berperang melawan asing.

Indonesia, katanya, bukan kekurangan pemimpin yang baik, tapi mereka yang baik itu tidak mau berpolitik karena kondisi dunia politik yang sedemikian joroknya. Namun demikian, mereka harus dipanggil, walaupun belum tentu mereka mau. Tapi ini panggilan dari bangsa, ketimbang memilih orang yang tidak layak dan penuh dengan permainan politik.

"Orang pintar memang banyak, tapi kalau tidak bermoral, malah merusak bangsa, bukan membangun," katanya.

Dia optimistis di internal parpol, tetap ada diskusi cawapres alternatif seperti tokoh tokoh senior NU, Quraish Shihab, dan Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar.

"Tidak harus mereka, tetapi tokoh yang bisa menjadi pilar moral dan mempunyai integritas tinggi, serta bisa jadi pemersatu bangsa seperti Quraish Shihab dan Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar lah yang pantas," katanya.

Jauh Dari Perpecahan

Presidium Pengembangan Organisasi Pengurus Pusat Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pius Yolan, menegaskan bahwa bangsa harus dijauhkan dari problem permusuhan dan perpecahan.

Sebab itu, pemimpin bangsa, kata Pius, harus bisa menjaga keseimbangan itu dengan menenangkan dan merangkul semua golongan, menutup adanya celah-celah segregasi sosial. "Cawapres yang dibutuhkan bangsa ini ke depan ialah sosok yang mampu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa," papar Pius.

Sementara itu, pakar politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, Ucu Martanto, mengatakan dalam menghadapi dinamika politik yang terus berubah ini, pemilih diharapkan lebih cermat dalam menilai partai politik dan kestabilannya.

"Pemilih diharapkan lebih berpikir kritis dalam memilih pemimpin yang mampu memberikan inovasi bagi bangsa dan negara," katanya.

Baca Juga: