Gapki akan menggelar IPOC 2024 untuk mencari solusi dalam menghadapi tekanan dan tantangan industri sawit.
JAKARTA - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) akan menggelar 20th Indonesian Palm Oil Conference and 2025 Price Outlook (IPOC 2024) pada 6-8 November mendatang. Dengan tema "Seizing Opportunities Amidst Global Uncertainty", konferensi diadakan di Nusa Dua, Bali.
Tekanan yang dihadapi sektor perkebunan sawit cukup terasa pada tahun 2024. Dari dalam negeri, ada masalah stagnasi perkebunan, dari luar ada tekanan geopolitik serta keseimbangan pasokan dan permintaan.
Mona Surya, Ketua Panitia Pelaksanaan 20th Indonesian Palm Oil Conference and 2025 Price Outlook (IPOC 2024) mengatakan sebagai minyak nabati dengan konsumsi terbesar di dunia, minyak kelapa sawit memainkan peran vital dalam berbagai sektor, seperti sektor konsumer serta energi baru terbarukan (EBT).
"Sekitar 60 persen dari total produksi minyak kelapa sawit Indonesia ditujukan untuk pasar ekspor dan telah mencakup lebih dari 160 negara," ungkap Bendahara Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) itu di Jakarta, kemarin.
Hal itu menjadikan sawit sebagai komoditas penting dalam perdagangan internasional sehingga harga minyak sawit berada pada level atas sepanjang tahun berjalan. Berdasarkan data Oil World, harga rata-rata bulanan minyak kelapa sawit berada di kisaran 937 juta dollar AS hingga 1.147 dollar AS per ton.
Kendati demikian, lanjutnya, terdapat sejumlah tantangan yang melingkupi industri kelapa sawit. Dari dalam negeri, isu mengenai stagnasi produksi dan produktivitas, ketidakpastian kebijakan, serta rata-rata umur tanaman yang memasuki masa replanting. Beberapa tantangan tersebut perlu mendapatkan perhatian khusus dari para stakeholders.
Sementara itu, tantangan dari luar negeri yang dihadapi misalnya keseimbangan antara pasokan dan permintaan minyak nabati lainnya, kampanye negatif terkait rantai pasok yang keberlanjutan sampai dengan faktor geopolitik di Eropa dan Timur Tengah.
Mona menjelaskan, salah satu tantangan kebijakan dari Uni Eropa yaitu Kebijakan Deforestasi Uni Eropa (EUDR) berisiko menjadi hambatan di pasar internasional.
"Kebijakan ini berpotensi memberikan dampak signifikan bagi petani sawit di negara penghasil utama seperti Indonesia (41% dari produksi global) dan Malaysia (27%)," terang Mona.
Menanggapi dinamika tersebut, Gapki menggelar IPOC 2024 dengan tema "Seizing Opportunities Amidst Global Uncertainty", di Bali International Convention Center, The Westin Resort Nusa Dua, Bali pada 6-8 November. Konferensi ini diharapkan menjadi forum strategis untuk membahas berbagai peluang di tengah ketidakpastian global.
IPOC 2024 kali ini direncanakan akan dibuka oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, serta menghadirkan sejumlah menteri lain, seperti Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
Mona mengatakan konferensi ini juga akan menyajikan analisis mendalam mengenai situasi pasar minyak nabati global, dengan fokus pada perkembangan dan dinamika terkini yang memengaruhi industri minyak sawit.
"Berbagai kebijakan minyak sawit Indonesia, perspektif pasar dari negara-negara pengimpor, serta analisis pasokan dan permintaan minyak sawit dunia akan menjadi topik pembahasan utama dalam IPOC 2024 ini," ujar Mona.
Para pakar terkemuka di bidang minyak nabati seperti Thomas Mielke (Oil World), Julian McGill (Glenauk Economics), Nagaraj Meda (Transgraph), dan Dorab Mistry (Godrej International Ltd) dijadwalkan hadir untuk memberikan pandangannya mengenai tren harga di masa depan.
IPOC telah menjadi wadah bagi para pemangku kepentingan di industri kelapa sawit, baik di tingkat nasional maupun internasional selama 19 tahun terakhir. Penyelenggaraan dua hari tersebut mencakup konferensi, pameran produk, perkembangan teknologi, dan layanan terbaru di industri kelapa sawit.