Bangunan Candi Jawi menjadi saksi bagi adanya agama sinkretisme antara Hindu dan Buddha yang dinamakan Siwa Buddha. Candi ini dibangun oleh Kertanegara, raja terakhir Singasari yang menganut agama itu.
Bangunan Candi Jawi menjadi saksi bagi adanya agama sinkretisme antara Hindu dan Buddha yang dinamakan Siwa Buddha. Candi ini dibangun oleh Kertanegara, raja terakhir Singasari yang menganut agama itu.
Dalam kakawin Nagarakretagama karya Empu Prapanca pupuh 56 disebutkan bahwa Candi Jawi yang berada di Desa Candi Wates, Prigen, Pasuruan, didirikan oleh atas perintah Raja terakhir Kerajaan Singasari atau Singhasari, Kertanegara. Tujuannya untuk tempat beribadah aliran agama Siwa Buddha.
Raja Kertanegara merupakan raja terakhir Kerajaan Singasari yang memerintah antara 1268-1292 masehi. Dari kakawin tersebut dapat diketahui ia seorang penganut ajaran sinkretisme Siwa-Buddha. Ajaran ini merupakan campuran (sinkretisme) agama Hindu dan Buddha di Indonesia. Setelah Singasari runtuh, ajaran ini dilanjutkan dengan zaman Majapahit.
Ajaran Siwa Buddha juga dipaparkan dalam kakawin Sutasoma dan kakawin Arjunawijaya. Kepercayaan ini adalah pemujaan leluhur kawitan Majapahit. Pada era itu kerajaan itu kepercayaan ini menyebar di Nusantara, karena waktu itu para raja nusantara dan keluarganya menganut Siwa-Buddha.
Agama tersebut pertama kali diperkenalkan oleh kaum brahmana, biarawan dan pendeta berbagai sekte dan mazhab di India. Mereka datang ke Nusantara mengikuti rute perdagangan maritim yang telah dijalin sejak oleh kerajaan-kerajaan di tanah air.
Alasan Kertanegara membangun Candi Jawi jauh dari pusat kerajaan yang berada di Malang diduga karena di kawasan ini pengikut ajaran Siwa-Buddha sangat kuat. Rakyat di daerah itu sangat taat menjalankan ritual tersebut.
Sekalipun Kertanegara dikenal sebagai raja yang masyhur, ia juga memiliki banyak musuh di dalam negeri. Kidung Panji Wijayakrama misalnya menyebutkan terjadinya pemberontakan Kelana Bhayangkara. Negarakertagama bahkan mencatat adanya pemberontakan Cayaraja.
Ada dugaan bahwa kawasan Candi Jawi dijadikan basis oleh pendukung Kertanegara. Dugaan ini timbul dari kisah sejarah bahwa saat Dyah Wijaya, menantu Kertanegara, melarikan diri setelah Kertanegara dikudeta raja bawahannya, Jayakatwang dari Gelang-gelang (daerah Kediri). Ia sempat bersembunyi di daerah ini sebelum akhirnya mengungsi ke Madura.
Candi Jawi yang berjarak 33,5 kilometer dari pusat Kota Pasuruan saat ini berstatus sebagai cagar budaya karena memiliki arsitektur yang sangat indah. Bangunan ini awalnya hanya berupa reruntuhan. Setelah mengalami beberapa pemugaran, jadilah bentuk candi yang seperti sekarang ini.
Pemugaran pertama dilakukan pada masa Kerajaan Majapahit di bawah Ratu Tribhuwanatunggadewi. Pada 1938-1941, terdapat sebuah penelitian terhadap Candi Jawa yang dilakukan oleh Oudheidkundige Dienst atau Dinas Kepurbakalaan Hindia Belanda. Saat penelitian berlangsung, banyak bagian yang ditemukan rusak dan hilang, sehingga dilakukan pemugaran atau perbaikan kembali.
Pemugaran pertama dilakukan dari 1938-1941. Namun pemugaran ini tidak dapat dituntaskan karena banyak batu penyusun candi yang telah hilang. Pemugaran dilanjutkan pada 1975-1980. Hasilnya adalah bangunan candi yang dapat dilihat seperti saat ini.
Setelah pemugaran Candi Jawi terlihat memang utuh namun sebenarnya berkurang karena arca Batari Durga yang ada di candi ini kini disimpan di Museum Empu Tantular, Surabaya. Batari Durga adalah wujud Dewi Uma setelah dikutuk oleh Batara Guru. Batari Durga dititahkan untuk menjadi istri Batara Kala.
Arca lainnya disimpan di Museum Trowulan untuk pengamanan. Sedangkan arca Brahma, sudah tidak ditemukan lagi. Mungkin saja sudah hancur berkeping-keping atau dicuri oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Candi Jawi bentuk tinggi dan ramping dengan relief yang sedang rinci. Dimensinya berupa panjang 14,24 meter, lebar 9,55 meter, dan tinggi mencapai 24,5 meter. Bangunan ini menempati lahan yang cukup sempit yaitu 40 x 60 meter persegi.
Di sekeliling candi terdapat kolam panjang 54 meter, lebar 3,50 meter dan kedalaman 2 meter yang terbuat dari bata merah dengan ketebalan tembok kolam 0,90 meter. Kolam mini ini menjadi tempat hidup bunga teratai yang dalam agama Hindu dan Buddha menjadi bunga suci.
Berada di sisi kanan jalan raya Prigen antara Kota Pandaan dengan Tretes, Candi Jawi menghadap sejarah arah jalan. Jika dilihat dari kompas posisinya menghadap ke arah tenggara bukan mengikuti arah mata angin pada umumnya.
Misalnya Candi Prambanan yang berada di perbatasan DIY dan Jawa Tengah menghadap ke arah timur. Demikian dengan candi agama Buddha yaitu Candi Sewu. Sedangkan Candi Penataran di Blitar menghadap ke arah barat daya.
Candi-candi di Indonesia pada dasarnya terdiri atas dua langgam yakni langgam Jawa Tengah dan langgam Jawa Timur. Umumnya candi langgam Jawa Tengah menghadap ke Timur, sementara candi langgam Jawa Timur menghadap ke Barat meski tidak secara presisi.
Posisi arah candi menghadap atau posisi pintu masuk, maka oleh sebagian ahli mempertegas bahwa Candi Jawi bukan tempat pemujaan atau pradaksina. Karena biasanya candi untuk peribadatan menghadap ke arah gunung, tempat yang dipercaya sebagai tempat persemayaman kepada dewa.
Yang berbeda Candi Jawi justru membelakangi Gunung Penanggungan. Sementara ahli lain ada pula yang beranggapan bahwa candi ini tetaplah candi pemujaan, dan posisi pintu yang tidak menghadap ke gunung dipercaya karena adanya pengaruh dari ajaran Buddha.
Keunikan
Keunikan Candi Jawi adalah adanya relief di dindingnya indah. Terletak tepat di bagian tengah candi yang merupakan bagian tertinggi dari bagian dalam candi, terdapat sebuah relief Dewa Surya yang terpahat jelas. Di samping relief yang terletak di bagian dinding candi, terdapat pula relief lain yang terletak di bagian dalamnya.
Namun sayangnya, relief sebagian besar belum bisa diurai oleh para arkeolog, salah satunya karena ukurannya kurang dalam ukirannya sehingga mereka kesulitan dalam menerjemahkannya. Berbeda dengan relief di Candi Jago dan Candi Penataran yang masih jelas.
Kitab Negarakertagama yang secara jelas menceritakan candi ini tidak menyinggung sama sekali soal relief tersebut. Salah satu fragmen yang ada pada dinding candi, menggambarkan sendiri keberadaan Candi Jawi tersebut beserta beberapa bangunan lain disekitar candi.
Tubuh candi yang ramping terbuat dari susunan batu putih (tufa) dengan relung-relung, di keempat sisinya. Tiap relung dihias kepala kala dengan rahang bawah, sebagai simbol untuk mengusir kekuatan jahat.
Selain bangunan utama Candi Jawi juga memiliki candi perwara sebanyak tiga buah. Candi perwara adalah candi kecil yang berada di depan candi induk, jumlahnya umumnya lebih dari dua berada di sisi kanan dan kiri. Sekali lagi sayangnya kondisi ketiga perwara tersebut saat ini bisa dibilang rata dengan tanah karena yang terlihat hanya sisa pondasinya saja.
Demikian juga di fragmen tersebut terlihat jelas bahwa terdapat candi bentar yang merupakan pintu gerbang candi, terletak sebelah barat. Candi bentar merupakan bangunan candi berbentuk gapura yang terbelah secara sempurna tanpa penghubung pada bagian, yaitu pada masa Majapahit yang kemudian berkelanjutan pada masa Islam.
Sisa-sisa bangunan candi bentar tersebut memang masih ada, tetapi bentuknya lebih mirip onggokan batu bata. Gerbang candi tersebut memang dibangun dari batu bata merah, yang lebih mudah rapuh dibandingkan dengan batu alam.
Keunikan lain dari Candi Jawi adalah batu yang dipakai sebagai bahan bangunannya terdiri dari dua jenis. Bagian bawah terdiri dari batu hitam sedangkan bagian atas batu putih. Sehingga timbul dugaan bahwa bisa jadi candi ini dibangun dalam dua periode yang berbeda teknik bangunan.
Selain itu, terdapat pagar bata merah seperti yang banyak dijumpai di bangunan pada masa Kerajaan Majapahit seperti Candi Tikus di Trowulan dan Candi Bajangratu di Mojokerto. Ini semakin kuat menandakan bangunan ini dibuat secara bertahap. hay/I-1