Meski kehancuran Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi karena tsunami pada 11 Maret 2011 telah 10 tahun,sampai kini masalah belum selesai. Pihak berwenang menyatakan memerlukan 30 hingga 40 tahun lagi untuk menyelesaikan pekerjaan yang telah menghabiskan biaya triliunan yen itu.
Sekarang sebagian besar dari 150 ribu penduduk masih mengungsi dari wilayah bencana. Bahkanbanyak tidak ingin kembali karena sudah memiliki kehidupan baru di tempat lain.
BBC menyebutkan, PLTN tersebut sebenarnya mampu mendeteksi gempa dan secara otomatis dengan mematikan reaktor nuklir. Selanjutnya generator diesel otomatis akan menyala untuk menjaga agar cairan pendingin tetap memompa di sekitar inti, yang tetap sangat panas, bahkan setelah reaksi berhenti.
Namun, gelombang air tsunami setinggi 14 meter yang menghantam wilayah Prefektur Fukushima mampu menerjang tanggul dan membanjiri pabrik serta mematikan generator darurat. Para pekerja telah berusaha memulihkan, namun tidak berhasil.
Matinya generator sebagai pendorong cairan pendingin membuat tiga reaktor menjadi terlalu panas dan sebagian melelehkan inti, sebuah kondisi yang dikenal sebagai krisis nuklir. Reaktor tersebut juga mengalami sejumlah ledakan hidrogenyang merusak bangunan.
Bukan hanya itu. Materi radioaktif mulai bocor ke atmosfer dan Samudra Pasifik. Ini mendorong evakuasi dan zona eksklusi yang terus meluas. Memang tidak ada kematian langsung selama bencana nuklir. Hanya 16 pekerja terluka dalam ledakan. Namun, beberapa pekerja terpapar radiasi saat berusaha mendinginkan reaktor dan menstabilkan pabrik.
Efek jangka panjang dari radiasi masih diperdebatkan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis laporan pada 2013 mengatakan, bencana tersebut tidak akan menyebabkan peningkatan tingkat kanker yang dapat diamati di wilayah tersebut. Para ilmuwan baik dalam maupun luar Jepang percaya bahwa selain dari wilayah sekitar pabrik, risiko radiasi tetap relatif rendah.
Pada 9 Maret 2021, menjelang peringatan 10 tahun, WHO mengatakan tidak ada efek kesehatan merugikan yang didokumentasikan di antara penduduk Fukushima yang secara langsung berada pada zona bencana. Setiap efek kesehatan terkait radiasi di masa depan tidak mungkin terlihat.
Tak Percaya
Meski WHO menyatakan tidak ada efek kesehatan, tetapi banyak yang tidak percaya. Apalagi pada 2018, pemerintah Jepang mengumumkan seorang pekerja telah meninggal setelah terpapar radiasi. Keluarganya harus diberi kompensasi. Sejumlah penduduk dipastikan tewas di pengungsian, termasuk puluhan pasien rumah sakit yang terkena radiasi.
Bencana Fukushima diklasifikasikan sebagai peristiwa tingkat tujuh oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA), atau tertinggi kedua setelah setelah peristiwa di Chernobyl, Ukraina. Para kritikus menyalahkan kurangnya kesiapsiagaan menghadapi bencana. Tanggapan dari operator pembangkit listrik Tokyo Electric Power (Tepco) dan pemerintah juga kacau.
Investigasi Jepang menyimpulkan, Fukushima adalah bencana buatan manusia yang mendalam. Jepang menyalahkan perusahaan energi itu karena gagal memenuhi persyaratan keselamatan.
Namun, pada 2019 pengadilan Jepang membebaskan tiga mantan eksekutif Tepco karena kelalaian dalam satu-satunya kasus kriminal yang keluar dari bencana tersebut. Pada 2012, Perdana Menteri Jepang saat itu, Yoshihiko Noda, menyatakan bertanggung jawab. Pada 2017 pengadilan memutuskan pemerintah harus membayar kompensasi kepada pengungsi.
Setelah satu dekade tantangan utama tetap ada, terutama menghilangkan limbah nuklir, batang bahan bakar, dan lebih dari 1,25 juta ton air radioaktif sisa pendinginan dengan aman di lokasi lain. Tahun ini pemerintah berencana melepaskan air yang telah disaring ke Samudera Pasifik untuk mengurangi radioaktivitas.