JAKARTA - Jepang tercatat menghabiskan 9,8 triliun yen setara dengan 62,2 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau sekitar 1.010 triliun rupiah dalam sebulan terakhir untuk menjaga yen yang telah jatuh ke level terendah dalam 34 tahun terakhir.
Seperti dilansir dari Bloomberg, devisa yang dikeluarkan itu, lebih besar dari total yang digunakan pada 2022 untuk mempertahankan yen. Kementerian Keuangan Jepang mengungkapkan angka-angka pada hari Jumat untuk periode antara 26 April dan 29 Mei. Jumlah tersebut melebihi perkiraan sebelumnya sebesar 9,4 triliun yen berdasarkan perbandingan akun Bank of Japan (BOJ) dan perkiraan pialang uang.
Rekor intervensi bulanan Jepang sebelumnya senilai 9,1 triliun yen ditetapkan dalam situasi yang sangat berbeda ketika pihak berwenang mencoba untuk melemahkan yen pada musim gugur 2011. Rekor pengeluaran untuk intervensi itu menunjukkan komitmen pemerintah Jepang untuk melawan para spekulan yang bertaruh terhadap yen.
Yen diperkirakan akan tetap berada di bawah tekanan mengingat kesenjangan yang menganga antara suku bunga di Jepang dan AS. Meskipun BOJ akhirnya bergabung dengan Federal Reserve dalam mengetatkan kebijakan moneter, suku bunga jangka pendek Jepang hanya 0,1 persen dibandingkan dengan suku bunga the Fed di level 5,5 persen.
Para pejabat Jepang menyadari bahwa upaya mereka hanya mengulur waktu daripada membalikkan dinamika. Dari perspektif tersebut, intervensi yang dilakukan relatif berhasil. Meskipun yen telah melepaskan sebagian besar kenaikan dari sebulan yang lalu, yen masih belum kembali ke angka 160 terhadap dollar AS.
"Namun tanpa intervensi, yen akan semakin melemah. Jadi, saya yakin bahwa operasi sekitar 10 triliun yen itu efektif," kata ekonom eksekutif di Dai-Ichi Life Research Institute dan mantan pejabat bank sentral, Hideo Kumano.
Masih Wajar
Sejumlah pihak menyebutkan pengeluaran cadangan devisa tersebut masih wajar karena per akhir April 2024, Jepang tercatat memiliki cadangan devisa 1,14 triliun dollar AS yang menunjukkan bahwa Tokyo masih memiliki amunisi yang cukup untuk menghadapi pelemahan yen.
Para ekonom Bloomberg pun melihat Jepang masih memiliki cadangan devisa yang cukup. Mereka menekankan Kemenkeu Jepang untuk secara hati-hati memilih waktu untuk intervensi.
Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Rossanto Dwi Handoyo, mengatakan seperti halnya Jepang, Bank Indonesia juga diperkirakan menaikkan suku bunga BI 7days Reverse Repo Rate.
"Kenaikan suku bunga acuan BI itu akan berdampak pada kenaikan suku bunga deposito. Suku bunga pinjaman dan obligasi juga meningkat, termasuk tingkat imbal hasil Surat Berharga Negara," kata Rossanto.
Meskipun kepercayaan investor terhadap penerbitan obligasi dan sukuk negara masih sangat baik, namun jika mempertahankan suku bunga tetap, kemungkinan besar tidak akan ada investor yang berminat membeli. Padahal obligasi di Indonesia termasuk dalam kategori aman karena selalu tepat waktu dalam melunasi pokok dan bunganya," jelasnya.