JAKARTA - Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) harus melakukan terobosan untuk mengakhiri keterpurukan nilai tukar rupiah. Fundamental perekonomian nasional perlu diperkuat dan kenaikan suku bunga acuan perlu dilanjutkan untuk menekan aliran investasi keluar dari lasar keuangan dalam negeri.

Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti mengatakan kondisi nilai tukar yang kian melemah ini berdampak buruk bagi ekonomi Indonesia karena disebabkan oleh sejumlah hal. Pertama, porsi utang luar negeri itu besar sehingga butuh dollar AS untuk bayar utang baik cicilan dan bunganya.

Kedua, karena porsi impor yang makin tinggi sehingga membuat kebutuhan dollar AS untuk alat pembayaran juga meningkat.

"Ketiga, deindustrialisasi dini sehingga kemampuan Indonesia menciptakan produk lokal untuk dikonsumsi di pasar domestik maupun luar negeri kurang," ucap Esther pada Rabu (15/5), menanggapi fenomena pelemahan tukar rupiah.

Selain itu, menurut Esther, ada solusi cepat dan sementara untuk bisa dilakukan untuk stabilisasi nilai tukar. Cara tersebut dengan menaikkan tingkat suku bunga untuk mencegah capital flight meskipun berdampak pelemahan di sektor riil.

Adapun solusi jangka panjangnya adalah dengan membangun industri secara serius agar bisa menciptakan produk daya saingnya tinggi sehingga industri ini mampu memenuhi kebutuhan domestik dan pasar ekspor.

"Hal ini bisa mengurangi impor dan menaikkan ekspor sehingga meningkatkan devisa negara," ungkap Esther.

Seperti diketahui, ekonomi global masih dihantui suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Fed Fund Rate (FFR) yang tinggi. Ini diperkirakan dipertahankan dalam jangka waktu lama atau higher for longer.

Nilai tukar rupiah terdepresiasi hingga sempat menyentuh posisi 16.260 rupiah per dollar AS, terlemah sejak 2020. Menyikapi keadaan tersebut, Bank Indonesia dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada April 2024 menaikkan suku bunga acuan BI Rate sebesar 25 bps (basis points) mencapai 6,25 persen untuk menjaga stabilitas pasar keuangan domestik.

Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra Badiul Hadi menuturkan, sepertinya pemerintah AS sengaja tidak segera mengumumkan inflasi terbaru untuk melihat respons perekonomian global.

"Sayangnya jika kebijakan AS ini berkepanjangan dan dibarengi dengan kenaikan suku bunga The Fed, maka ini akan semakin menekan rupiah, dan tentu situasi ini tidak baik bagi perekonomian Indonesia," paparnya.

Setidaknya kondisi rupiah saat ini, papar Badiul, hampir sama dengan kondisi ketika krisis moneter pada 1998 yaitu di level 16.000-an rupiah per dollar AS.

Kebijakan Baru

Badiul menegaskan, pemerintah perlu, segera menerbitkan kebijakan baru yang lebih fokus dalam memperkuat rupiah. Apalagi dalam beberapa waktu terakhir, pemerintah menargetkan kirs rupiah diangka di bawah level 16.000 rupiah per dollar AS.

"Yang perlu dilakukan juga ialah memperkuat pondasi atau soko guru perekonomian nasional yaitu usaha mikro kecil dan menengah (UMKM)," tegasnya.

Secara terpisah, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, di Jakarta, Selasa (14/5), mengatakan pernyataan beberapa pejabat Fed mendukung sikap higher for longer, termasuk Michelle Bowman dan Lorie Logan. Sikap tersebut meningkatkan sentimen risk off atau aksi jual aset berisiko di pasar keuangan domestik sehingga mendorong rupiah melemah.

Baca Juga: