Tim Disaster Response Unit (Deru) Universitas Gadjah Mada (UGM) menceritakan perjuangan mereka yang tidak ringan. Mereka butuh perjuangan ekstra keras selama membantu penanganan kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk yang menimpa anak-anak Agats, Kabupaten Asmat, Papua, pada Januari 2018.


"Terhitung kami menempuh 22 jam hingga sampai ke Agats," kata Sekretaris Direktorat Pengabdian Masyarakat UGM, Rachmawan Budiarto, di Kampus UGM, Yogyakarta, baru-baru ini.


Rachmawan yang memimpin Tim Deru UGM ke Asmat menceritakan selama empat jam terombang-ambing di laut lepas. Tujuh anggota tim memilih menginap di sebuah pulau yang tak berpenghuni. Atas saran dari nakhoda kapal, perjalanan malam itu terpaksa dihentikan karena gelombang laut masih tinggi.


Beberapa memilih tidur di kapal, sebagian memilih membuat tenda darurat di pinggir sungai. Di pulau yang masih terdapat hutan bakau tersebut, tim UGM yang terdiri para dokter, perawat, dan peneliti ini mendirikan tenda tidak jauh dari kapal. Di sungai yang mereka susuri masih banyak buaya.


Esok paginya setelah cuaca membaik, kapal ini berangkat menuju Agats. Sesampai di Agats, Jumat (26/1), kata Rachmawan, mereka berpencar membantu penanganan KLB campak dan gizi buruk.

Tim Deru ikut memetakan berbagai persoalan lain yang dihadapi warga Asmat dari persoalan layanan kesehatan, infrastruktur, teknologi hingga kondisi sosial budaya.

Pasang Panel Surya


Di Agats, Ibu Kota Asmat, para perawat dan dokter anggota tim ikut membantu penanganan pasien anak yang terkena kurang gizi. Peneliti dari pusat studi energi memasang panel surya di puskesmas Distrik Sawaerma. "Menuju distrik ini bisa ditempuh 50 menit dengan speed boat dari Agats," katanya.


Menurut Rachmawan, dari 23 distrik di Asmat, hanya dua distrik yang terjangkau PLN, sementara yang lainnya masih menggunakan genset.

Sejak adanya kasus KLB campak dan gizi buruk serta korban yang meninggal, program kegawatdaruratan yang dilaksanakan antarkementerian, pemkab, unsur TNI, dan Polri berjalan efektif.


Namun, diperlukan upaya tindak lanjut untuk mengatasi persoalan kasus gizi buruk di Asmat disebabkan masih jauhnya akses layanan kesehatan yang bisa dijangkau warga. "Untuk distrik terdekat saja bisa ditempuh dengan kapal cepat sekitar 50 menit," kata dia.


Selain persoalan infrastruktur, minimnya moda trasportasi dan jauhnya akses layanan kesehatan yang bisa dijangkau juga masih menjadi kendala. Racmawan menyebutkan dari 23 distrik, hanya 16 distrik yang memiliki puskesmas. Dari 16 tersebut, baru lima puskesmas yang memiliki tenaga dokter.


Persoalan lain, kata Rachmawan, kondisi tempat tinggal warga Asmat yang mayoritas di daerah rawa dan menggunakan sumber air minum dari air hujan. Ini menyebabkan kondisi sanitasi lingkungan cukup memprihatinkan.


Dokter Hendro Wartatmo, anggota tim medis UGM, mengatakan anak-anak yang menjadi korban meninggal dunia akibat campak disebabkan menderita kurang gizi.

"Kurang gizi menyebabkan infeksi campak dan infeksi lain sebab saat kurang gizi akan menurunkan daya tahan tubuh," kata dia. YK/N-3

Baca Juga: