JAKARTA - Komitmen Indonesia ikut mewujudkan net zero emission pada 2050 mendatang seperti yang disepakati dalam "Paris Meeting" menuntut pemerintah untuk mengalokasikan anggaran dalam jumlah yang cukup besar. Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, mengatakan kebutuhan Indonesia mengatasi perubahan iklim diperkirakan mencapai 3.461 triliun rupiah atau setara dengan 266 miliar dollar AS hingga 2030 mendatang.

Dengan jumlah kebutuhan tersebut, maka mitigasi belanja kementerian/lembaga selama ini baru menutupi 21 persen dari kebutuhan pendanaan untuk bisa mencapai komitmen Paris.

Menkeu mengakui APBN tidak akan mampu membiayai sendiri komitmen perubahan iklim tersebut, sehingga dibutuhkan mobilisasi dana yang berasal dari swasta, baik domestik maupun global.

Kondisi tersebut menuntut pemerintah untuk terus memformulasikan kebijakan-kebijakan yang mampu untuk menarik lebih banyak investasi untuk membangun sektor-sektor utama penentu perubahan iklim, yakni kehutanan, energi dan transportasi, limbah, pertanian, serta industri, agar tetap bisa memenuhi target penurunan karbondioksida.

Reformasi melalui Omnibus Law Cipta Kerja, jelasnya, diharapkan mengubah iklim investasi sehingga berdampak positif bagi Indonesia untuk bisa menarik investasi dan teknologi di bidang pembangunan berkelanjutan.

"Apakah itu proyek hijau maupun berbagai proyek baik untuk mitigasi maupun adaptasi, sehingga langkah-langkah ini akan bisa terus memenuhi komitmen Indonesia secara kredibel," kata Menkeu.

Berbagai instrumen fiskal yang berhubungan dengan proyek ekonomi hijau, papar Menkeu, masih terus diberikan seperti tax holiday, tax allowance, dan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berhubungan dengan proyek hijau.

Di APBN sudah dialokasikan budget tagging untuk perubahan iklim 4,1 persen tiap tahun sejak 2016 hingga 2020. Beberapa pemerintah daerah sejak 2019 sudah mulai mengalokasikan APBDnya untuk mengatasi perubahan iklim.

Iklim yang Ramah

Pakar Ekonomi dari Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI), Surabaya, Leo Herlambang, mengatakan pemerintah tidak bisa sendirian, harus melibatkan swasta. Untuk itu harus serius memformulasikan kebijakan yang menarik investor energi baru terbarukan (EBT).

"Perlu dibuat kebijakan-kebijakan yang bisa menciptakan iklim investasi EBT yang ramah seperti keringanan pajak komponen yang belum bisa diproduksi dalam negeri, atau kemudahan bagi investor yang ingin mendirikan pabrik panel surya, kincir angin dan sejenisnya. Apalagi harga panel surya terus turun, sekarang sudah 25 persen lebih murah dari puncaknya," kata Leo.

Baca Juga: