Kenaikan harga pangan menjadi isu nasional selain kenaikan permintaan produk pangan menjelang periode Ramadan karena berisiko menggerus daya beli masyarakat.

JAKARTA - Upaya pengendalian inflasi pangan beserta dampaknya dibutuhkan kebijakan dalam jangka panjang lantaran peningkatan risiko perubahan iklim mengancam masalah produksi pangan. Berbagai kebijakan pemerintah selama ini mulai dari Bantuan Sosial (Bansos), penyaluran subsidi hingga Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) tak cukup menangani lonjakan harga pangan beserta dampaknya.

Pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI), Teuku Riefky, menyatakan pergerakan harga pangan menjadi faktor pendorong utama inflasi dalam lima bulan terakhir, menyusul meluasnya gagal panen akibat meningkatnya intensitas dampak fenomena alam yaitu El Nino. Pasalnya, komponen makanan merupakan kontributor terbesar dalam perhitungan inflasi sehingga stabilitas harga pangan menjadi isu utama dalam pengendalian inflasi belakangan ini.

"Sejak September lalu, Indeks Nino telah mencapai tingkat di atas 0,5 (mengindikasikan terjadinya El Nino) dan saat ini berada di angka 1,80," ujar Teuku Riefky kepada Koran Jakarta, Selasa (19/3).

Berlangsungnya fenomena El Nino memicu mundurnya musim panen dan mendisrupsi kecukupan pasokan beras. Lebih lanjut, momentum Ramadan menyebabkan naiknya permintaan produk pangan, termasuk beras.

"Kombinasi kelangkaan pasokan dan peningkatan permintaan komoditas pangan mendorong inflasi pangan naik mencapai angka 6,73 persen (yoy) pada Februari 2024 dari 5,84 persen (yoy) pada bulan sebelumnya," ucap Riefky.

Belakangan ini, lanjutnya, kenaikan harga pangan menjadi isu nasional selain kenaikan permintaan produk pangan menjelang periode Ramadan. Lebih lanjut, kenaikan harga pangan juga mendorong penurunan daya beli masyarakat dan mengendalikan harga pangan menjadi isu yang paling mendesak dalam menjaga tingkat inflasi.

Walaupun solusi jangka pendek telah diimplementasikan, strategi jangka panjang masih tetap dibutuhkan. Di sisi lain, El Nino diperkirakan akan mulai mereda dan musim panen akan segera terjadi antara akhir April hingga awal Mei tahun ini yang berpotensi mengurangi kelangkaan pasokan pangan.

"Namun, peningkatan risiko perubahan iklim berpotensi meningkatkan terjadinya disrupsi alam seperti El Nino di masa mendatang dan mendorong perlunya ada kebijakan yang lebih konkret untuk memastikan ketahanan pangan yang krusial dalam keseluruhan manajemen inflasi di masa mendatang," ucap Riefky

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Aria Bima, meminta BUMN untuk lebih serius dan proaktif ikut berperan mengatasi kelangkaan pangan, utamanya beras di pasaran. Pasalnya, Aria Bima menilai BUMN memiliki semua unsur usaha di bidang pangan dari hulu hingga hilir.

"Kita tidak ingin seperti teman-teman katakan (BUMN) menjadi pemadam kebakaran. Ada peran Bulog, ada peran PT Pupuk, kemudian ada peran dari ID Food dan juga dari peran PTPN," ujarnya dalam rapat kerja dengan Kementerian BUMN di Jakarta, Selasa (19/3).

Dirinya meminta semua BUMN melalui kolaborasi di Kementerian BUMN dan berbagai pihak, tidak lepas begitu saja menghadapi permasalahan pangan akhir-akhir ini. Sebab, peran kuat intervensi pemerintah dalam hal ini melalui BUMN, dinilai penting sebagai leading sector dalam ketahanan pangan.

Program Bansos

Anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina, menyoroti gelontoran bansos yang sama sekali tidak edukatif. Dia menilai penyaluran bansos dan bantuan langsung tunai yang terus-menerus dapat berdampak buruk kepada masyarakat. Sebab, nantinya masyarakat akan terbiasa dengan bantuan pemerintah sehingga menimbulkan rasa malas.

Baca Juga: