Indonesia sudah tertinggal jauh dalam upaya mendorong transisi dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT).
JAKARTA - Perusahaan plat merah (BUMN) harus menjadi pionir dalam transisi energi. Dalam hal ini, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN sebagai BUMN ketenagalistrikan semestinya mengambil tempat terdepan untuk memimpin segenap sektor lain.
Pengamat Ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamudin Daeng, menegaskan kendatipun banyak pihak menghambat upaya transisi, PLN tak boleh surut. Sebab, Indonesia sudah tertinggal jauh dalam upaya mendorong transisi energi.
"Di masa depan semua harus elektrifikasi, semua harus menuju ke listrik, tidak ada lagi motor BBM yang dapat bertahan dari denda emisi, mesin industri akan berganti dengan mesin listrik, alat alat transportasi akan berpindah ke listrik, seluruhnya sampai dengan kapal kapal tengker pengangkut BBM," tandas Daeng di Jakarta, Selasa (11/10).
Dia menambahkan PLN akan melaksanakan seluruh proses transisi energi pada semua lini, mulai dari bahan bakar primer, pembangkit listrik, jaringan, hingga usaha meningkatkan kesadaran konsumen, semua memang harus dikerjakan oleh PLN.
Daeng mengatakan peta jalan transisi energi yang ditetapkan PLN setahun lalu tentu tidak mudah untuk dijalankan. Hambatan dan rintangan akan datang baik dari aspek politik, ekonomi, hingga masalah sosial budaya.
Dunia, lanjut dia, telah memutuskannya. Penataan keuangan global yang baru telah mengambil isu transisi energi dan digitalisasasi sebagai faktor kunci membangun tatanan keuangan baru.
Percepatan transisi ini, terang Daeng, harus didorong, apalagi tahun depan diramalkan resesi melanda dunia. Sejumlah krisis menanti mulai dari energi hingga keuangan. Keduanya bakal datang dalam waktu bersamaan.
Dia memperkirakan kurang lebih sepuluh tahun lagi tidak ada yang bisa menghindar dari isu emisi karbon. Isu tersebut telah diletakkan secara internasional sebagai masalah paling besar umat manusia sekarang ini.
Industri migas, pembangkit listrik, ekstraktif industri, manufacturing, industri keuangan, perbankan, jasa-jasa, konsumen akhir, semua tidak lagi dapat menghindar dari semua denda yang akan dibebankan terhadap semua emisi karbon yang dihasilkan.
Dalam kesempatan lain, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan penerbitan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, menjadi regulasi baru untuk memperkuat komitmen pemerintah melaksanakan transisi energi menuju net zero emission (NZE).
"Perpres ini dalam perjalanannnya mengalami beberapa perubahan dari sisi substansinya. Sebelumnya, kita ingin ada acuan harga listrik yang akan dibeli secara single offtaker oleh PLN. Tetapi, kemudian menjadi lebih luas dan komprehensif dengan apa yang sedang disusun, dikembangkan, didorong dan dijalankan oleh pemerintah untuk transisi energi menuju NZE," tutur Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana.
Penghentian PLTU
Dadan melanjutkan meskipun penamaan Perpres ini terkait EBT, tetapi di dalamnya terdapat sejumlah pengaturan secara khusus yang memprioritaskan pengembangan pembangkit EBT dan menghentikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
"Dalam perpres ini disebutkan secara jelas Indonesia tidak akan membangun PLTU yang baru, kecuali yang sudah masuk dalam rencana, kecuali yang masuk RUPTL, kecuali yang sudah masuk PSN (Proyek Strategis Nasional), yang memberikan kontribusi ekonomi secara strategis dan besar secara nasional. Itu juga diikat di dalamnya bahwa dalam 10 tahun setelah pembangkit tersebut beroperasi, emisi Gas Rumah Kaca harus turun minimal 35 persen," jelasnya.